ASWAJA
DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW.
Satu lagi contoh dalil khusus yang sering dibawakan 
oleh kaum Salafi & Wahabi adalah dalil yang secara harfiyah dipahami
 sebagai larangan untuk memuji atau menyanjung Rasulullah Saw., dan ini 
dijadikan dasar untuk menganggap bid’ah atau sesat sya’ir-sya’ir 
qashidah yang sering dibaca umat Islam di seluruh dunia dalam rangka 
memuji Rasulullah Saw. Hadis Rasulullah Saw. tentang hal itu bunyinya 
begini:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ (رواه البخاري)“Janganlah kalian memuji/menyanjung aku secara berlebihan, sebagaimana kaum Nasrani menyanjung Isa bin Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah ‘hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari)
Kaum Salafi & Wahabi secara mentah-mentah 
memahami hadis ini sebagai larangan mutlak memuji-muji atau menyanjung 
Rasulullah Saw. secara berlebihan, lebih dari sekedar mengakuinya 
sebatas hamba Allah yang diutus sebagai Rasul dan diberikan wahyu. 
Memuji beliau lebih dari itu dianggap sebagai upaya “pengkultusan” yang 
dapat dikategorikan sebagai syirik. Padahal, memuji atau menyanjung itu 
sangat jauh berbeda dengan “mengkultuskan”.
Habib Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki, di dalam kitab beliau, Qul Hadzihii Sabiilii,
 menjelaskan bahwa pada hadis tersebut ada pesan yang jelas antara 
larangan memuji atau menyanjung berlebihan dengan perlakuan kaum Nasrani
 terhadap Nabi Isa bin Maryam As. Artinya, seandainya yang dilarang 
secara mutlak adalah semata-mata perbuatan memuji atau menyanjung 
Rasulullah Saw. dalam bentuk apapun seperti yang dipahami kaum Salafi 
& Wahabi, maka beliau tidak perlu menghubungkannya dengan perbuatan 
kaum Nasrani yang jelas-jelas menganggap Nabi Isa As. sebagai tuhan. 
Itulah kenapa Rasulullah Saw. kemudian menyuruh umatnya untuk selalu 
“menyadari” bahwa beliau hanyalah seorang hamba Allah dan Rasul-Nya. Dan
 orang Islam paling bodoh pun tahu batasan ini.
Jadi, yang dilarang di dalam hadis tersebut 
adalah “mengkultuskan” Rasulullah Saw. dalam arti mengangkat beliau 
sebagai tuhan atau melekatkan sifat ketuhanan kepada beliau. 
Sementara menyanjung atau memuji beliau, menurut Habib Muhammad 
al-Maliki, adalah perkara wajib, mengingat banyak ayat-ayat al-Qur’an 
yang menyebut bahwa keingkaran umat-umat terdahulu terhadap nabi-nabi 
mereka adalah karena menganggap nabi-nabi itu sebatas manusia biasa 
seperti diri mereka yang tidak pantas dilebihkan kedudukannya sehingga 
patut diikuti.
Di lain sisi, terdapat dalil-dalil yang menunjukkan 
bahwa Rasulullah Saw. tidak benar-benar melarang shahabat beliau untuk 
memuji atau menyanjung beliau, melainkan semata-mata karena sifat tawadhu’
 (rendah hati) pada diri beliau, dan karena kekuatiran terhadap 
kebiasaan pengkultusan jahiliyah yang baru saja ditinggalkan para 
shahabat beliau karena baru masuk Islam. Walhasil, para ulama 
telah menjelaskan bahwa memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. itu 
dilakukan dalam rangka untuk memuliakan beliau, dan memuliakan beliau 
adalah amal shaleh yang mendapatkan pahala. Sikap “memuliakan” itu 
sangat berbeda dari sikap “mengkultuskan”, dan dalam rangka memuliakan 
Rasulullah Saw. maka tidak ada batas tertentu yang dianggap cukup untuk 
mencapai hakikat kemuliaan beliau. Batasannya hanyalah tidak mengangkat 
beliau sebagai tuhan atau tidak melekatkan sifat ketuhanan pada diri 
beliau.
Lagipula, Allah Swt. telah jelas-jelas mencontohkan 
sikap pemuliaan itu dengan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. di 
dalam al-Qur’an, sebagaimana tersebut di dalam surat al-Qalam: 4 :
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar di atas budi pekerti yang agung.”
Bahkan, bukan sekedar mencontohkan, Allah 
Swt. malah juga menganggap sikap memuliakan Rasulullah Saw. itu sebagai 
ciri orang yang beriman kepadanya yang akan mendapatkan keberuntungan, 
sebagaimana firman-Nya:
“… Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raaf: 157).
Jadi, ketika kaum Salafi & Wahabi 
menganggap sya’ir-sya’ir pujian kepada Rasulullah Saw. yang ditulis oleh
 para ulama yang shaleh sebagai bid’ah sesat, atau bahkan 
dianggap sebagai amalan syirik, karena dianggap “berlebihan” dalam 
memuji, maka hendaknya mereka menjelaskan “batasan Pas‘nya” dan
 “batasan lebihnya” dengan dalil yang jelas, sambil bertanya, “kalau 
bukan kita (umat Islam) yang memuliakan Rasulullah Saw., maka siapakah 
yang lebih pantas melakukannya, Yahudi kah atau Nasrani kah?”
Bila Rasulullah Saw. sudah dianggap tidak lebih dari 
manusia biasa yang diutus sebagai Rasul dan mendapat wahyu, berarti di 
sana ada pengingkaran terhadap sosok pribadi beliau yang agung sebagai 
seseorang bernama “Muhammad” yang terkenal kemuliaan dan kejujurannya, 
yang bukan saja ditakdirkan tetapi bahkan dipersiapkan oleh Allah 
jauh-jauh masa sebelum alam semesta diciptakan. Beliau bahkan sudah 
menjadi manusia mulia dan terpuji yang diistimewakan oleh Allah sebelum 
diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Bagaimana mungkin kita mengingkari awan
 yang menaungi beliau saat berjalan; atau melimpahnya keberkahan ternak 
dan susu Halimatus-Sa’diyah saat mengambil beliau sebagai anak susunya; 
atau kejujuran dan kehalusan budi pekerti beliau yang diakui orang di 
seantero Mekkah; atau padamnya api abadi sesembahan kaum majusi Persia 
di saat kelahiran beliau; atau betapa proporsionalnya bentuk wajah dan 
tubuh beliau; dan lain sebagainya. Sungguh semua itu diberikan oleh 
Allah sebagai suatu keistimewaan yang layak disebut sebagai kemuliaan 
dan keagungan pribadi beliau, terlepas dari status beliau sebagai 
seorang Rasul semata. Belum lagi keistimewaan-keistimewaan yang Allah 
berikan kepada beliau sejak diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sungguh 
tidak terukur kadarnya. Syirik kah orang yang menyebut-nyebut 
keistimewaan beliau itu dalam sya’ir-sya’ir pujian?
Lihatlah betapa para shahabat Rasulullah Saw. seperti
 kehabisan kata dan tak mampu menemukan ungkapan yang tepat untuk 
menggambarkan hakikat pribadi beliau. Kekaguman mereka pada diri beliau 
terungkap seperti berikut ini:
Al-Bara’ bin ‘Azib Ra. berkata, “Aku tidak pernah melihat ada seseorang berbalut pakaian merah yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari).Ali bin Abi Thalib Ra. berkata, “… Aku belum pernah melihat sebelum dan sesudahnya orang yang seperti beliau” (HR. Tirmidzi).Anas bin Malik Ra. berkata, “Aku tidak pernah menyentuh kain sutra yang lebih halus dari telapak tangan Rasulullah Saw., dan aku tidak pernah mencium wangi yang lebih harum dari wanginya Rasulullah Saw.” (HR. Ahmad).‘Aisyah Ra. ummul-Mu’miniin berkata, “Adalah akhlak beliau itu al-Qur’an” (HR. Ahmad).
Delegasi Bani ‘Amir berkata kepada Rasulullah Saw., “Engkau adalah tuan kami.” Rasulullah Saw. menjawab, “Tuan itu adalah Allah tabaraka wata’ala.” Delegasi itu malah terus berkata lagi, “Dan engkau adalah orang paling utama dan paling besar kemampuan di antara kami.” Rasulullah Saw. berkata, “Katakanlah
 dengan perkataan kalian atau sebagian perkataan kalian, dan jangan 
sampai syeitan menjadikan kalian sebagai wakilnya (untuk menyesatkan 
dengan kata-kata)” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa 
Rasulullah Saw. tidak melarang orang yang menyanjung beliau, tetapi di 
sisi lain beliau juga memberi peringatan agar waspada dari penyusupan 
syeitan dalam hal tersebut yang pada akhirnya dapat mengarahkan orang 
untuk mengkultuskan beliau seperti Tuhan, mengingat mereka baru masuk 
Islam dan baru saja meninggalkan penyembahan berhala. Artinya, selama 
pujian atau sanjungan itu tidak melampaui batas tersebut, beliau masih 
mentolerirnya. Beliau memang tidak senang dipuji atau disanjung karena 
sifat tawadhu’ (rendah hati), bukan karena haram melakukannya.        
Masih banyak lagi ungkapan pujian dan sanjungan para 
shahabat terhadap beliau, sebagai wujud kebanggaan, kecintaan, dan 
kekaguman yang mendalam terhadap diri beliau. Dan ungkapan-ungkapan 
apapun dalam memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. hakikatnya adalah 
pembenaran dan penetapan keyakinan di dalam hati tentang ketinggian 
derajat dan keutamaan yang Allah berikan kepada beliau, dan ini adalah 
bagian dari keimanan kepada kenabian dan kerasulan beliau.      
Bila yang dipermasalahkan adalah kalimat-kalimat sya’ir yang secara harfiyah memposisikan Rasulullah Saw. sebagai: Pemberi
 petunjuk ke jalan yang lurus (al-haadii ilaa sharath mustaqiim), 
pembuka yang tertutup (al-faatih limaa ughliqa), penutup yang terdahulu,
 tuan (sayyid/maula), cahaya yang berada di atas cahaya (nuur fawqa 
nuur), penghapus kesesatan, pemberi pertolongan, dan lain 
sebagainya, yang sering dituduh sebagai sikap “menuhankan” 
(mengkultuskan) beliau atau menganggap beliau memiliki kemampuan seperti
 Allah, maka sungguh tuduhan itu sangat keliru. Sebab para ulama yang 
menyusun atau mengarang kalimat-kalimat tersebut tidak pernah 
menganggapnya demikian, mereka hanya memaksudkan makna majaz 
(kiasan) di mana hakikatnya sudah menjadi hal lumrah bagi orang-orang 
yang bertauhid dan beraqidah, bahwa yang sesungguhnya memberi petunjuk, 
pertolongan, keberkahan, cahaya, dan lain sebagainya adalah Allah Swt., 
sedang Rasulullah Saw. hanya merupakan “sebab” tercapainya hal-hal 
tersebut melalui dakwah, teladan, syafa’at, dan do’a-do’a beliau.
Para ulama yang menulis sya’ir-sya’ir pujian itu pasti sangat mengerti batasan tentang “porsi” Khaliq (Allah yang Maha Pencipta) dan “porsi” makhluq (hamba
 ciptaan Allah) dalam hal kemampuan atau perbuatan, dan tidak mungkin 
itu diabaikan. Setinggi apapun ungkapan pujian atau sanjungan itu kepada
 Rasulullah Saw. sesungguhnya maksudnya adalah masih dalam tataran 
status beliau sebagai makhluk. Bahkan seandainya dikatakan Rasulullah Saw. adalah sempurna, maka maksudnya adalah Rasulullah Saw. makhluk yang sempurna, yang tentunya disempurnakan oleh Allah Swt.
Al-Habib Muhammad al-Maliki menjelaskan, bahwa 
menisbatkan suatu perbuatan atau kemampuan kepada yang bukan ahlinya 
adalah sah menurut al-Qur’an dan Sunnah, dan inilah yang disebut majaz ‘aqli (kiasan logis). Sebagai contoh, Allah Swt. mencontohkan:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, maka (ayat-ayat itu) menambahkan iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (QS. Al-Anfaal: 2).“Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir dari hari yang menjadikan anak-anak beruban“ (QS. Al-Muzzammil: 17).
Pada ayat pertama diatas, Allah menyebutkan seolah “ayat-ayatNya” dapat melakukan atau memberkan tambahan keimanan, dan pada ayat kedua, Allah menyebutkan seolah “hari”
 lah yang merubah keadaan anak-anak menjadi beruban (tua). Tentu hal itu
 dengan mudah dapat dipahami sebagai kiasan, karena siapapun tahu bahwa 
pada hakikatnya yang menambah keimanan dan merubah keadaan anak-anak 
menjadi beruban adalah Allah. Demikian pulalah jika suatu kemampuan atau
 perbuatan yang hakekatnya cuma milik Allah ketika dinisbatkan kepada 
Rasulullah  Saw., maka maksudnya adalah majaz aqli (kiasan 
logis) dengan makna bahwa beliau hanyalah “sebab” tercapainya perbuatan 
itu, sedang pelaku sesungguhnya adalah Allah. Lihatlah bagaimana Allah 
sendiri menyebutkan:
“… dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Asy-Syuuraa: 52).
Adapun memuliakan Rasulullah Saw. dengan sebutan sayyid (tuan/penghulu/pemimpin),
 maka hal itu telah dibahas hukum kebolehannya dengan panjang lebar oleh
 para ulama, di antaranya adalah Imam Nawawi di dalam kitab al-Adzkaar. Ringkasnya, menyebut Rasulullah Saw. dengan Sayyidinaa Muhammad (tuan/penghulu/pemimpin kami Muhammad) hanyalah melaksanakan apa yang beliau nyatakan sendiri di dalam sabdanya:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ (رواه مسلم)“ Aku adalah penghulu/pemimpin anak Adam pada hari kiamat, dan orang pertama terbelah (terbuka) kuburnya, orang pertama yang memberi syafa’at, serta orang pertama yang diberi syafa’at” (HR. Muslim)
Sikap kaum Salafi & Wahabi yang di satu sisi 
terkesan seperti sangat antusias dalam mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. 
tetapi di sisi lain sangat “menghindarkan diri” dari memuliakan dan 
menyanjung pribadi beliau karena paranoid terhadap pengkultusan yang 
tidak jelas batasannya, adalah dua sisi yang boleh dikatakan bertolak 
belakang. Mengapa? Karena semangat atau antusiasme mengikuti 
seseorang biasanya muncul dari kekaguman, dan kekaguman itu berawal dari
 mengenal keistimewaan dan kemuliaan orang tersebut yang dapat 
diekspresikan dan disosialisasikan melalui sanjungan, pujian, atau 
pemuliaan dari orang yang mengenalnya.
Tanpa kekaguman itu mustahil rasanya seseorang 
tergerak untuk mengikuti atau bahkan untuk sekedar mempercayai. Bukankah
 banyak riwayat hadis menyebutkan para Shahabat yang mendapat hidayah 
dan memilih beriman serta mengikuti Rasulullah Saw. karena kekaguman 
mereka terhadap beliau dalam hal: Kejujurannya, akhlak dan budi 
pekertinya, kelembutan tutur katanya, kebijaksanaannya, dan kedahsyatan 
mukjizatnya? Bila semata-mata karena beliau diangkat menjadi seorang 
Nabi dan Rasul, tanpa tanda-tanda khusus atau keistimewaan yang 
mengagumkan pada diri pribadi beliau, besar kemungkinan bahkan para 
rahib (seperti Waraqah bin Naufal atau Buhaira) yang mengetahui berita 
kedatangan Nabi akhir zaman dari kitab-kitab mereka sekalipun, sulit 
untuk mempercayai beliau, apatah lagi mengikuti ajarannya.
Pertanyaannya, kenapa kaum Salafi & Wahabi ini 
bisa bersemangat dan sangat antusias untuk mengikuti sunnah Rasulullah 
Saw. padahal “bekal” kekaguman mereka terhadap beliau tidak lebih dari 
pengakuan bahwa beliau adalah manusia biasa yang diberi wahyu dan 
diangkat menjadi Nabi dan Rasul? Bukankah kekaguman sebatas itu mestinya
 tidak menghasilkan efek yang lebih hebat dalam mengikuti sunnah 
Rasulullah Saw. daripada kekaguman yang diwarnai dengan pujian dan 
sanjungan terhadap kemuliaan dan keistimewaan pribadi beliau? Bagaimana 
mungkin orang-orang yang mengaku mencintai dan mengagumi Rasulullah Saw.
 dan rajin memuji atau menyanjung pribadi beliau terkesan kalah semangat
 dari kaum Salafi & Wahabi ini dalam membicarakan dan menjalani 
sunnah beliau? Anda ingin tahu jawabannya?
Jawabnya, bahwa para ulama melihat jelas adanya celah
 rahmat Allah yang ada pada sikap memuliakan pribadi Rasulullah Saw. 
selain dari kekaguman yang dapat memompa semangat mengikuti sunnah 
beliau. Sehingga diharapkan, meskipun jika ada umat Islam yang membaca 
syair pujian dan sanjungan terhadap beliau lalu belum muncul semangatnya
 untuk mengikuti sunnah beliau, diharapkan mereka mendapat rahmat dengan
 cara itu. Dengan rahmat itulah kemudian mereka akan dipermudah oleh 
Allah untuk mencapai kecintaan kepada Rasulullah Saw., lalu kekaguman 
terhadap beliau, lalu peneladanan terhadap sunnahnya. Berarti, 
setidaknya masih ada kebaikan yang dihasilkan dari sekedar memuji dan 
menyanjung Rasulullah Saw., bahkan dengan hanya menyebut nama beliau 
saja, seseorang bisa mendapatkan rahmat. Bagaimana tidak, sedangkan 
Sufyan bin ‘Uyainah berkata:
عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْـزِلُ الرَّحْمَةُ (حلية الأولياء ج. 7 ص. 285)“Saat menyebut orang-orang shaleh, akan turun rahmat” (Lihat Hilyatul-Awliya’, al-Ashbahani, juz 7 hal. 285).وَعَنْ أَبِيْ عُثْمَانَ أَنَّهُ قَالَ ِلأَبِيْ جَعْفَرِ بْنِ حَمْدَانَ أَلَسْتُمْ تَرْوُوْنَ أَنَّ عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ قَالَ بَلَى قَالَ فَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيِّدُ الصَّالِحِيْنَ (، سير أعلام النبلاء ج. 14 ص. 64)Dan dari Abi Utsman bahwasanya ia berkata kepada Abu Ja’far bin Hamdan, “Bukankah kalian meriwayatkan bahwa ketika disebut orang-orang shaleh akan turun rahmat?” Abu Ja’far menjawab, “Benar”. Abu Utsman berkata, “ Maka Rasulullah Saw. adalah pemimpin orang-orang shaleh“ (Siyar A’laam an-Nubala’, adz-Dzahabi, juz 14, hal. 64)
Sedangkan mengenai kaum Salafi & Wahabi 
yang terkesan sangat antusias dan bersemangat mengikuti sunnah 
Rasulullah Saw., maka sebenarnya hal itu juga dilatar belakangi oleh 
kekaguman yang sangat besar. Tetapi kekaguman yang sangat besar itu 
bukanlah terhadap diri pribadi Rasulullah Saw., karena mereka menganggap
 beliau hanya sebatas manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat 
menjadi Nabi & Rasul. Semangat dan antusiasme itu lahir karena mereka sangat kagum kepada dua hal, yaitu: 
1. Sangat kagum kepada para ulama Salafi & Wahabi yang berhasil meyakinkan dirinya bahwa merekalah yang paling murni mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau. Penampilan mereka yang hafal al-Qur’an dan hadis sehingga terkesan selalu berbicara dengan dalil, menjadi poin penting dalam memunculkan kekaguman ini.
2. Sangat kagum kepada diri sendiri karena merasa beragama dan beribadah selalu berdasarkan sunnah Rasulullah dan sunnah para shahabat beliau. Akibatnya mereka sangat optimis bahwa ibadah yang mereka lakukan itu sangat berarti dan berharga nilainya.
Benarkah begitu? Mana buktinya? Buktinya, mereka 
selalu berbicara tentang ibadah yang harus dijalankan sesuai dengan 
sunnah Rasulullah Saw., sehingga apa yang mereka anggap berbeda dari 
yang disebutkan sunnah tersebut dianggap sia-sia dan tidak mendapat 
pahala. Sedangkan para ulama pelaku Maulid seringkali berbicara tentang 
rahmat Allah yang hakikatnya lebih berharga dari pahala ibadah; 
mengarahkan umat untuk kagum kepada “rahmat bagi sekalian alam” (yaitu 
Rasulullah Saw.) melalui syair-syair sanjungan dan pujian kepada beliau;
 serta perlahan-lahan mengarahkan mereka untuk mengikuti sunnahnya agar 
semakin besar harapan mereka untuk mendapatkan rahmat Allah.
Apa artinya amal ibadah seseorang di hari akhirat 
bila ia tidak diberi rahmat oleh Allah, sedangkan Allah memberi 
rahmat-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki, apalagi kepada orang 
yang berharap rahmat kepada-Nya. Pantaskah mendapat rahmat suatu ibadah 
yang di dalamnya terselip kesombongan dan kebanggaan karena 
menganggapnya lebih utama dari ibadah orang lain? Manakah yang lebih 
utama, mengharap pahala atau rahmat? Rasulullah Saw. telah bersabda:
لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيْرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ الله ِ (روا مسلم)“Tidaklah amal seseorang memasukkannya ke dalam surga, dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka, dan aku pun demikian, melainkan dengan sebab rahmat dari Allah” (HR. Muslim).
Jika telah nyata bahwa rahmat Allah lebih berharga 
dari pahala atau amal ibadah, maka membuka peluang besar bagi umat untuk
 mendapat rahmat Allah melalui puji-pujian dan sanjungan kepada 
Rasulullah Saw., atau melalui acara peringatan Maulid, tahlilan, dan 
lain sebagainya adalah amalan yang jelas lebih pantas dianggap kebaikan 
ketimbang memutus harapan mereka dari rahmat Allah dengan melarang atau 
menuding amalan tersebut sebagai kesia-siaan, bid’ah, dan kesesatan. Perhatikanlah riwayat dari Zaid bin Aslam Ra. berikut ini:
أن رجلا كان في الأمم الماضية يجتهد في العبادة ويشدد على نفسه ويقنط الناس من رحمة الله ثم مات فقال أي رب مالي عندك قال النار قال يا رب فأين عبادتي واجتهادي فقيل له كنت تقنط الناس من رحمتي في الدنيا وأنا أقنطك اليوم من رحمتي (أخرجه معمر بن راشد الأزدي في الجامع ج. 11 ص. 288 والبيهقي في شعب الإيمان ج. 2، ص. 21)Sesungguhnya ada seorang lelaki pada masa umat-umat terdahulu yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Ia berkeras diri melakukannya, dan (di sisi lain) ia membuat orang lain berputus asa dari rahmat Allah ta’ala. Kemudian Ia meninggal dunia. Maka ia berkata (saat hari kiamat), “Ya Tuhanku, apa yang aku dapat (dari Engkau)?” Allah menjawab, “Neraka!” Orang itupun berkata, “Mana (pahala) ibadahku dan kesungguhanku?” Allah menjawab, “Sesungguhnya kamu dahulu di dunia telah membuat orang berputus asa dari rahmat-Ku, maka hari ini Aku buat kamu berputus asa dari mendapat rahmat-Ku!” (lihat al-Jami’, Ma’mar bin Rasyid al-Azdi w. 151, juz 11, hal. 288. Syu’abul-Iman, al-Bayhaqi w. 458 H.,juz 2, hal. 21)
Mungkin kaum Salafi & Wahabi tidak menyadari, entah ke arah mana maunya keyakinan yang mereka pegang itu. Bila
 kaum Yahudi & Nasrani memiliki alasan jelas dalam hal tidak 
menyukai keutamaan diri Rasulullah Saw. sehingga mereka selalu berupaya 
menghina dan merendahkan martabat beliau, lalu mengapakah kaum Salafi 
& Wahabi jadi seperti “ikut-ikutan” dalam hal itu sehingga tega 
melarang umat Islam untuk mencintai, memuji, menyanjung, dan 
membanggakan Nabinya sendiri? Apakah mereka tidak menyadari 
bahwa fatwa mereka dalam hal ini seperti mendukung misi kaum Yahudi yang
 selalu berusaha “membunuh karakter” Rasulullah Saw. dari hati para 
pengikutnya??!
 
Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis
BalasHapussedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
1M saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
dengan KYAI SOLEH PATI, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari
saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SOLEH PATI
kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
penarikan uang gaib 4Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 4M yang saya
minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
sering menyarankan untuk menghubungi KYAI SOLEH PATI Di Tlp 0852-2589-0869
agar di berikan arahan. Supaya tidak langsung datang ke jawa timur,
saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sangat baik,
jika ingin seperti saya coba hubungi KYAI SOLEH PATI pasti akan di bantu Oleh Beliau