Selasa, 19 Juni 2012

MENYANJUNG RASULULLAH SAW

ASWAJA

DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW.
Satu lagi contoh dalil khusus yang sering dibawakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah dalil yang secara harfiyah dipahami sebagai larangan untuk memuji atau menyanjung Rasulullah Saw., dan ini dijadikan dasar untuk menganggap bid’ah atau sesat sya’ir-sya’ir qashidah yang sering dibaca umat Islam di seluruh dunia dalam rangka memuji Rasulullah Saw. Hadis Rasulullah Saw. tentang hal itu bunyinya begini:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ (رواه البخاري)
“Janganlah kalian memuji/menyanjung aku secara berlebihan, sebagaimana kaum Nasrani menyanjung Isa bin Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah ‘hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari)
Kaum Salafi & Wahabi secara mentah-mentah memahami hadis ini sebagai larangan mutlak memuji-muji atau menyanjung Rasulullah Saw. secara berlebihan, lebih dari sekedar mengakuinya sebatas hamba Allah yang diutus sebagai Rasul dan diberikan wahyu. Memuji beliau lebih dari itu dianggap sebagai upaya “pengkultusan” yang dapat dikategorikan sebagai syirik. Padahal, memuji atau menyanjung itu sangat jauh berbeda dengan “mengkultuskan”.
Habib Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki, di dalam kitab beliau, Qul Hadzihii Sabiilii, menjelaskan bahwa pada hadis tersebut ada pesan yang jelas antara larangan memuji atau menyanjung berlebihan dengan perlakuan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam As. Artinya, seandainya yang dilarang secara mutlak adalah semata-mata perbuatan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. dalam bentuk apapun seperti yang dipahami kaum Salafi & Wahabi, maka beliau tidak perlu menghubungkannya dengan perbuatan kaum Nasrani yang jelas-jelas menganggap Nabi Isa As. sebagai tuhan. Itulah kenapa Rasulullah Saw. kemudian menyuruh umatnya untuk selalu “menyadari” bahwa beliau hanyalah seorang hamba Allah dan Rasul-Nya. Dan orang Islam paling bodoh pun tahu batasan ini.
Jadi, yang dilarang di dalam hadis tersebut adalah “mengkultuskan” Rasulullah Saw. dalam arti mengangkat beliau sebagai tuhan atau melekatkan sifat ketuhanan kepada beliau. Sementara menyanjung atau memuji beliau, menurut Habib Muhammad al-Maliki, adalah perkara wajib, mengingat banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menyebut bahwa keingkaran umat-umat terdahulu terhadap nabi-nabi mereka adalah karena menganggap nabi-nabi itu sebatas manusia biasa seperti diri mereka yang tidak pantas dilebihkan kedudukannya sehingga patut diikuti.
Di lain sisi, terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak benar-benar melarang shahabat beliau untuk memuji atau menyanjung beliau, melainkan semata-mata karena sifat tawadhu’ (rendah hati) pada diri beliau, dan karena kekuatiran terhadap kebiasaan pengkultusan jahiliyah yang baru saja ditinggalkan para shahabat beliau karena baru masuk Islam. Walhasil, para ulama telah menjelaskan bahwa memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. itu dilakukan dalam rangka untuk memuliakan beliau, dan memuliakan beliau adalah amal shaleh yang mendapatkan pahala. Sikap “memuliakan” itu sangat berbeda dari sikap “mengkultuskan”, dan dalam rangka memuliakan Rasulullah Saw. maka tidak ada batas tertentu yang dianggap cukup untuk mencapai hakikat kemuliaan beliau. Batasannya hanyalah tidak mengangkat beliau sebagai tuhan atau tidak melekatkan sifat ketuhanan pada diri beliau.
Lagipula, Allah Swt. telah jelas-jelas mencontohkan sikap pemuliaan itu dengan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. di dalam al-Qur’an, sebagaimana tersebut di dalam surat al-Qalam: 4 :
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar di atas budi pekerti yang agung.”
Bahkan, bukan sekedar mencontohkan, Allah Swt. malah juga menganggap sikap memuliakan Rasulullah Saw. itu sebagai ciri orang yang beriman kepadanya yang akan mendapatkan keberuntungan, sebagaimana firman-Nya:
“… Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raaf: 157).
Jadi, ketika kaum Salafi & Wahabi menganggap sya’ir-sya’ir pujian kepada Rasulullah Saw. yang ditulis oleh para ulama yang shaleh sebagai bid’ah sesat, atau bahkan dianggap sebagai amalan syirik, karena dianggap “berlebihan” dalam memuji, maka hendaknya mereka menjelaskan “batasan Pas‘nya” dan “batasan lebihnya” dengan dalil yang jelas, sambil bertanya, “kalau bukan kita (umat Islam) yang memuliakan Rasulullah Saw., maka siapakah yang lebih pantas melakukannya, Yahudi kah atau Nasrani kah?”
Bila Rasulullah Saw. sudah dianggap tidak lebih dari manusia biasa yang diutus sebagai Rasul dan mendapat wahyu, berarti di sana ada pengingkaran terhadap sosok pribadi beliau yang agung sebagai seseorang bernama “Muhammad” yang terkenal kemuliaan dan kejujurannya, yang bukan saja ditakdirkan tetapi bahkan dipersiapkan oleh Allah jauh-jauh masa sebelum alam semesta diciptakan. Beliau bahkan sudah menjadi manusia mulia dan terpuji yang diistimewakan oleh Allah sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Bagaimana mungkin kita mengingkari awan yang menaungi beliau saat berjalan; atau melimpahnya keberkahan ternak dan susu Halimatus-Sa’diyah saat mengambil beliau sebagai anak susunya; atau kejujuran dan kehalusan budi pekerti beliau yang diakui orang di seantero Mekkah; atau padamnya api abadi sesembahan kaum majusi Persia di saat kelahiran beliau; atau betapa proporsionalnya bentuk wajah dan tubuh beliau; dan lain sebagainya. Sungguh semua itu diberikan oleh Allah sebagai suatu keistimewaan yang layak disebut sebagai kemuliaan dan keagungan pribadi beliau, terlepas dari status beliau sebagai seorang Rasul semata. Belum lagi keistimewaan-keistimewaan yang Allah berikan kepada beliau sejak diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sungguh tidak terukur kadarnya. Syirik kah orang yang menyebut-nyebut keistimewaan beliau itu dalam sya’ir-sya’ir pujian?
Lihatlah betapa para shahabat Rasulullah Saw. seperti kehabisan kata dan tak mampu menemukan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan hakikat pribadi beliau. Kekaguman mereka pada diri beliau terungkap seperti berikut ini:
Al-Bara’ bin ‘Azib Ra. berkata, “Aku tidak pernah melihat ada seseorang berbalut pakaian merah yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari).
Ali bin Abi Thalib Ra. berkata, “… Aku belum pernah melihat sebelum dan sesudahnya orang yang seperti beliau” (HR. Tirmidzi).
Anas bin Malik Ra. berkata, “Aku tidak pernah menyentuh kain sutra yang lebih halus dari telapak tangan Rasulullah Saw., dan aku tidak pernah mencium wangi  yang lebih harum dari wanginya Rasulullah Saw.” (HR. Ahmad).
‘Aisyah Ra. ummul-Mu’miniin berkata, “Adalah akhlak beliau itu al-Qur’an” (HR. Ahmad).
Delegasi Bani ‘Amir berkata kepada Rasulullah Saw., “Engkau adalah tuan kami.” Rasulullah Saw. menjawab, “Tuan itu adalah Allah tabaraka wata’ala.” Delegasi itu malah terus berkata lagi, “Dan engkau adalah orang paling utama dan paling besar kemampuan di antara kami.” Rasulullah Saw. berkata, “Katakanlah dengan perkataan kalian atau sebagian perkataan kalian, dan jangan sampai syeitan menjadikan kalian sebagai wakilnya (untuk menyesatkan dengan kata-kata)” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak melarang orang yang menyanjung beliau, tetapi di sisi lain beliau juga memberi peringatan agar waspada dari penyusupan syeitan dalam hal tersebut yang pada akhirnya dapat mengarahkan orang untuk mengkultuskan beliau seperti Tuhan, mengingat mereka baru masuk Islam dan baru saja meninggalkan penyembahan berhala. Artinya, selama pujian atau sanjungan itu tidak melampaui batas tersebut, beliau masih mentolerirnya. Beliau memang tidak senang dipuji atau disanjung karena sifat tawadhu’ (rendah hati), bukan karena haram melakukannya.        
Masih banyak lagi ungkapan pujian dan sanjungan para shahabat terhadap beliau, sebagai wujud kebanggaan, kecintaan, dan kekaguman yang mendalam terhadap diri beliau. Dan ungkapan-ungkapan apapun dalam memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. hakikatnya adalah pembenaran dan penetapan keyakinan di dalam hati tentang ketinggian derajat dan keutamaan yang Allah berikan kepada beliau, dan ini adalah bagian dari keimanan kepada kenabian dan kerasulan beliau.      
Bila yang dipermasalahkan adalah kalimat-kalimat sya’ir yang secara harfiyah memposisikan Rasulullah Saw. sebagai: Pemberi petunjuk ke jalan yang lurus (al-haadii ilaa sharath mustaqiim), pembuka yang tertutup (al-faatih limaa ughliqa), penutup yang terdahulu, tuan (sayyid/maula), cahaya yang berada di atas cahaya (nuur fawqa nuur), penghapus kesesatan, pemberi pertolongan, dan lain sebagainya, yang sering dituduh sebagai sikap “menuhankan” (mengkultuskan) beliau atau menganggap beliau memiliki kemampuan seperti Allah, maka sungguh tuduhan itu sangat keliru. Sebab para ulama yang menyusun atau mengarang kalimat-kalimat tersebut tidak pernah menganggapnya demikian, mereka hanya memaksudkan makna majaz (kiasan) di mana hakikatnya sudah menjadi hal lumrah bagi orang-orang yang bertauhid dan beraqidah, bahwa yang sesungguhnya memberi petunjuk, pertolongan, keberkahan, cahaya, dan lain sebagainya adalah Allah Swt., sedang Rasulullah Saw. hanya merupakan “sebab” tercapainya hal-hal tersebut melalui dakwah, teladan, syafa’at, dan do’a-do’a beliau.
Para ulama yang menulis sya’ir-sya’ir pujian itu pasti sangat mengerti batasan tentang “porsi” Khaliq (Allah yang Maha Pencipta) dan “porsi” makhluq (hamba ciptaan Allah) dalam hal kemampuan atau perbuatan, dan tidak mungkin itu diabaikan. Setinggi apapun ungkapan pujian atau sanjungan itu kepada Rasulullah Saw. sesungguhnya maksudnya adalah masih dalam tataran status beliau sebagai makhluk. Bahkan seandainya dikatakan Rasulullah Saw. adalah sempurna, maka maksudnya adalah Rasulullah Saw. makhluk yang sempurna, yang tentunya disempurnakan oleh Allah Swt.
Al-Habib Muhammad al-Maliki menjelaskan, bahwa menisbatkan suatu perbuatan atau kemampuan kepada yang bukan ahlinya adalah sah menurut al-Qur’an dan Sunnah, dan inilah yang disebut majaz ‘aqli (kiasan logis). Sebagai contoh, Allah Swt. mencontohkan:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, maka (ayat-ayat itu) menambahkan  iman mereka  dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (QS. Al-Anfaal: 2).
“Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir dari hari yang menjadikan anak-anak beruban (QS. Al-Muzzammil: 17).
Pada ayat pertama diatas, Allah menyebutkan seolah “ayat-ayatNya” dapat melakukan atau memberkan tambahan keimanan, dan pada ayat kedua, Allah menyebutkan seolah “hari” lah yang merubah keadaan anak-anak menjadi beruban (tua). Tentu hal itu dengan mudah dapat dipahami sebagai kiasan, karena siapapun tahu bahwa pada hakikatnya yang menambah keimanan dan merubah keadaan anak-anak menjadi beruban adalah Allah. Demikian pulalah jika suatu kemampuan atau perbuatan yang hakekatnya cuma milik Allah ketika dinisbatkan kepada Rasulullah  Saw., maka maksudnya adalah majaz aqli (kiasan logis) dengan makna bahwa beliau hanyalah “sebab” tercapainya perbuatan itu, sedang pelaku sesungguhnya adalah Allah. Lihatlah bagaimana Allah sendiri menyebutkan:
“… dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus(QS. Asy-Syuuraa: 52).
Adapun memuliakan Rasulullah Saw. dengan sebutan sayyid (tuan/penghulu/pemimpin), maka hal itu telah dibahas hukum kebolehannya dengan panjang lebar oleh para ulama, di antaranya adalah Imam Nawawi di dalam kitab al-Adzkaar. Ringkasnya, menyebut Rasulullah Saw. dengan Sayyidinaa Muhammad (tuan/penghulu/pemimpin kami Muhammad) hanyalah melaksanakan apa yang beliau nyatakan sendiri di dalam sabdanya:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ (رواه مسلم)
Aku adalah penghulu/pemimpin anak Adam pada hari kiamat, dan orang pertama terbelah (terbuka) kuburnya, orang pertama yang memberi syafa’at, serta orang pertama yang diberi syafa’at” (HR. Muslim)  
Sikap kaum Salafi & Wahabi yang di satu sisi terkesan seperti sangat antusias dalam mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. tetapi di sisi lain sangat “menghindarkan diri” dari memuliakan dan menyanjung pribadi beliau karena paranoid terhadap pengkultusan yang tidak jelas batasannya, adalah dua sisi yang boleh dikatakan bertolak belakang. Mengapa? Karena semangat atau antusiasme mengikuti seseorang biasanya muncul dari kekaguman, dan kekaguman itu berawal dari mengenal keistimewaan dan kemuliaan orang tersebut yang dapat diekspresikan dan disosialisasikan melalui sanjungan, pujian, atau pemuliaan dari orang yang mengenalnya.
Tanpa kekaguman itu mustahil rasanya seseorang tergerak untuk mengikuti atau bahkan untuk sekedar mempercayai. Bukankah banyak riwayat hadis menyebutkan para Shahabat yang mendapat hidayah dan memilih beriman serta mengikuti Rasulullah Saw. karena kekaguman mereka terhadap beliau dalam hal: Kejujurannya, akhlak dan budi pekertinya, kelembutan tutur katanya, kebijaksanaannya, dan kedahsyatan mukjizatnya? Bila semata-mata karena beliau diangkat menjadi seorang Nabi dan Rasul, tanpa tanda-tanda khusus atau keistimewaan yang mengagumkan pada diri pribadi beliau, besar kemungkinan bahkan para rahib (seperti Waraqah bin Naufal atau Buhaira) yang mengetahui berita kedatangan Nabi akhir zaman dari kitab-kitab mereka sekalipun, sulit untuk mempercayai beliau, apatah lagi mengikuti ajarannya.
Pertanyaannya, kenapa kaum Salafi & Wahabi ini bisa bersemangat dan sangat antusias untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw. padahal “bekal” kekaguman mereka terhadap beliau tidak lebih dari pengakuan bahwa beliau adalah manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi dan Rasul? Bukankah kekaguman sebatas itu mestinya tidak menghasilkan efek yang lebih hebat dalam mengikuti sunnah Rasulullah Saw. daripada kekaguman yang diwarnai dengan pujian dan sanjungan terhadap kemuliaan dan keistimewaan pribadi beliau? Bagaimana mungkin orang-orang yang mengaku mencintai dan mengagumi Rasulullah Saw. dan rajin memuji atau menyanjung pribadi beliau terkesan kalah semangat dari kaum Salafi & Wahabi ini dalam membicarakan dan menjalani sunnah beliau? Anda ingin tahu jawabannya?
Jawabnya, bahwa para ulama melihat jelas adanya celah rahmat Allah yang ada pada sikap memuliakan pribadi Rasulullah Saw. selain dari kekaguman yang dapat memompa semangat mengikuti sunnah beliau. Sehingga diharapkan, meskipun jika ada umat Islam yang membaca syair pujian dan sanjungan terhadap beliau lalu belum muncul semangatnya untuk mengikuti sunnah beliau, diharapkan mereka mendapat rahmat dengan cara itu. Dengan rahmat itulah kemudian mereka akan dipermudah oleh Allah untuk mencapai kecintaan kepada Rasulullah Saw., lalu kekaguman terhadap beliau, lalu peneladanan terhadap sunnahnya. Berarti, setidaknya masih ada kebaikan yang dihasilkan dari sekedar memuji dan menyanjung Rasulullah Saw., bahkan dengan hanya menyebut nama beliau saja, seseorang bisa mendapatkan rahmat. Bagaimana tidak, sedangkan Sufyan bin ‘Uyainah berkata:
عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْـزِلُ الرَّحْمَةُ (حلية الأولياء ج. 7 ص. 285)
   “Saat menyebut orang-orang shaleh, akan turun rahmat” (Lihat Hilyatul-Awliya’, al-Ashbahani, juz 7 hal. 285).
وَعَنْ أَبِيْ عُثْمَانَ أَنَّهُ قَالَ ِلأَبِيْ جَعْفَرِ بْنِ حَمْدَانَ أَلَسْتُمْ تَرْوُوْنَ أَنَّ عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ قَالَ بَلَى قَالَ فَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيِّدُ الصَّالِحِيْنَ (، سير أعلام النبلاء ج. 14 ص. 64)
Dan dari Abi Utsman bahwasanya ia berkata kepada Abu Ja’far bin Hamdan, “Bukankah kalian meriwayatkan bahwa ketika disebut orang-orang shaleh akan turun rahmat?” Abu Ja’far menjawab, “Benar”. Abu Utsman berkata, “ Maka Rasulullah Saw. adalah pemimpin orang-orang shaleh (Siyar A’laam an-Nubala’, adz-Dzahabi, juz 14, hal. 64)
Sedangkan mengenai kaum Salafi & Wahabi yang terkesan sangat antusias dan bersemangat mengikuti sunnah Rasulullah Saw., maka sebenarnya hal itu juga dilatar belakangi oleh kekaguman yang sangat besar. Tetapi kekaguman yang sangat besar itu bukanlah terhadap diri pribadi Rasulullah Saw., karena mereka menganggap beliau hanya sebatas manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi & Rasul. Semangat dan antusiasme itu lahir karena mereka sangat kagum kepada dua hal, yaitu:
1. Sangat kagum kepada para ulama Salafi & Wahabi yang berhasil meyakinkan dirinya bahwa merekalah yang paling murni mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau. Penampilan mereka yang hafal al-Qur’an dan hadis sehingga terkesan selalu berbicara dengan dalil, menjadi poin penting dalam memunculkan kekaguman ini.
2. Sangat kagum kepada diri sendiri karena merasa beragama dan beribadah selalu berdasarkan sunnah Rasulullah dan sunnah para shahabat beliau. Akibatnya mereka sangat optimis bahwa ibadah yang mereka lakukan itu sangat berarti dan berharga nilainya.    
Benarkah begitu? Mana buktinya? Buktinya, mereka selalu berbicara tentang ibadah yang harus dijalankan sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw., sehingga apa yang mereka anggap berbeda dari yang disebutkan sunnah tersebut dianggap sia-sia dan tidak mendapat pahala. Sedangkan para ulama pelaku Maulid seringkali berbicara tentang rahmat Allah yang hakikatnya lebih berharga dari pahala ibadah; mengarahkan umat untuk kagum kepada “rahmat bagi sekalian alam” (yaitu Rasulullah Saw.) melalui syair-syair sanjungan dan pujian kepada beliau; serta perlahan-lahan mengarahkan mereka untuk mengikuti sunnahnya agar semakin besar harapan mereka untuk mendapatkan rahmat Allah.
Apa artinya amal ibadah seseorang di hari akhirat bila ia tidak diberi rahmat oleh Allah, sedangkan Allah memberi rahmat-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki, apalagi kepada orang yang berharap rahmat kepada-Nya. Pantaskah mendapat rahmat suatu ibadah yang di dalamnya terselip kesombongan dan kebanggaan karena menganggapnya lebih utama dari ibadah orang lain? Manakah yang lebih utama, mengharap pahala atau rahmat? Rasulullah Saw. telah bersabda:
لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيْرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ الله ِ (روا مسلم)
“Tidaklah amal seseorang memasukkannya ke dalam surga, dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka, dan aku pun demikian, melainkan dengan sebab rahmat dari Allah” (HR. Muslim).
Jika telah nyata bahwa rahmat Allah lebih berharga dari pahala atau amal ibadah, maka membuka peluang besar bagi umat untuk mendapat rahmat Allah melalui puji-pujian dan sanjungan kepada Rasulullah Saw., atau melalui acara peringatan Maulid, tahlilan, dan lain sebagainya adalah amalan yang jelas lebih pantas dianggap kebaikan ketimbang memutus harapan mereka dari rahmat Allah dengan melarang atau menuding amalan tersebut sebagai kesia-siaan, bid’ah, dan kesesatan. Perhatikanlah riwayat dari Zaid bin Aslam Ra. berikut ini:
أن رجلا كان في الأمم الماضية يجتهد في العبادة ويشدد على نفسه ويقنط الناس من رحمة الله ثم مات فقال أي رب مالي عندك قال النار قال يا رب فأين عبادتي واجتهادي فقيل له كنت تقنط الناس من رحمتي في الدنيا وأنا أقنطك اليوم من رحمتي (أخرجه معمر بن راشد الأزدي في الجامع ج. 11 ص. 288 والبيهقي في شعب الإيمان ج. 2، ص. 21)
Sesungguhnya ada  seorang lelaki pada masa umat-umat terdahulu yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Ia berkeras diri melakukannya, dan (di sisi lain) ia membuat orang lain berputus asa dari rahmat Allah ta’ala. Kemudian Ia meninggal dunia. Maka ia berkata (saat hari kiamat), “Ya Tuhanku, apa yang aku dapat (dari Engkau)?” Allah menjawab, “Neraka!” Orang itupun berkata, “Mana (pahala) ibadahku dan kesungguhanku?” Allah menjawab, “Sesungguhnya kamu dahulu di dunia telah membuat orang berputus asa dari rahmat-Ku, maka hari ini Aku buat kamu berputus asa dari mendapat rahmat-Ku!” (lihat al-Jami’, Ma’mar bin Rasyid al-Azdi w. 151, juz 11, hal. 288. Syu’abul-Iman, al-Bayhaqi w. 458 H.,juz 2, hal. 21) 
Mungkin kaum Salafi & Wahabi tidak menyadari, entah ke arah mana maunya keyakinan yang mereka pegang itu. Bila kaum Yahudi & Nasrani memiliki alasan jelas dalam hal tidak menyukai keutamaan diri Rasulullah Saw. sehingga mereka selalu berupaya menghina dan merendahkan martabat beliau, lalu mengapakah kaum Salafi & Wahabi jadi seperti “ikut-ikutan” dalam hal itu sehingga tega melarang umat Islam untuk mencintai, memuji, menyanjung, dan membanggakan Nabinya sendiri? Apakah mereka tidak menyadari bahwa fatwa mereka dalam hal ini seperti mendukung misi kaum Yahudi yang selalu berusaha “membunuh karakter” Rasulullah Saw. dari hati para pengikutnya??!

Minggu, 17 Juni 2012

Tabarruk atau Menggambil Berkah dalam Islam

Posted by majelisnabi pada 5 April 2012
بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل وسلم وبارك عليه وعلى آله
Pada sesi kali ini  kami akan sedikit membahas masalah Berkah dari Nabi dalam berbagai bentuk. Rasullullah saw Tidak hanya sebagai pemberi  Syafaat kepada ummatnya kelak di hari kiamat, namun beliau juga sebagai sumber Barakah bagi  para Sahabat  dan ummat Beliau , Sewaktu beliau Hidup maupun setelah Meninggal  seperti contoh ada dari para Sahabat  melakukan hal-hal seperti mencuci jubahnya nabi sebagai  obat, menyeka air wudhu sisa Nabi, mengusap ludah nabi ke tubuh dan wajah mereka bahkan berebut sisa  air wudhu Nabi , meyimpan rambut nabi , meyimpan keringat Nabi  sebagai berkah . dll ……..
Berikut adalah beberapa Hadits  tentang Tabbaruk para Sahabat kepada Rasulullah saw

Rambut Nabi saw sebagai Berkah :

Hadits : 1
dari Ibnu Sirin berkata, Aku berkata kepada Abidah, Kami memiliki rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang kami dapat dari Anas, atau keluarga Anas.’ Ia lalu berkata, Sekiranya aku memiliki satu helai rambut Rasulullah, maka itu lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya.[HR: bukhari] .(1)
Hadits : 2
dari Anas dia berkata; Sungguh saya pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang dicukur oleh seorang tukang cukur dengan dikerumuni oleh para sahabat beliau. Sebenarnya yang mereka inginkan adalah agar setiap helai rambut beliau yang tercukur itu jatuh ke tangan seorang sahabat yang mengerumuninya.[HR: muslim ] .(2)
Hadits : 3
dari Utsman bin Abdullah bin Mauhab berkata; Keluargaku pernah menyuruhku menemui Ummu Salamah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa mangkuk berisi air, sementara Isra’il memegang mangkuk tersebut menggunakan tiga jarinya yang didalamnya terdapat beberapa helai rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diikat, apabila ada seseorang yang terkena sihir atau sesuatu, maka tempat mewarnai rambut beliau diberikan kepada Ummu Salamah, lalu aku mendongakkan kepala ke wadah yang menyerupai lonceng, aku melihat rambut beliau sudah berubah merah.[Hr: bukhari ]. (3)
Kisah Khalid bin Walid dalam pertempuran :
Sayidina Safiyah ra meriwayatkan bahwa topi (helm) Khalid bin Walid berisi beberapa helai  rambut  Nabi saw , Ketika itu topi (pelindung kepala) jatuh di medan perang, ia mulai mencarinya , ketika Sahabat banyak mati syahid dalam pertempuran itu, orang orang binggung tentang (apa yang di lakukan khalid). kemudian dia berkata: Aku tidak mencari  hanya sekedar tutup pelindung kepala , sebenarnya itu berisi rambut Nabi saw dan saya takut bahwa rambut ini mungkin akan jatuh  ke tangan orang musyrik  dan aku akan  kehilangan Barakah atas rambut tersebut .
[Qadhi Iyaadh di Ash-Shifa, juz : 1, Halaman no : 619 ]. (4)

Jubah Rasulullah saw sebagai Obat :

Hadits : 4
Asma’ binti Abu Bakar berkata: ‘Hai Abdullah, ini adalah jubah Rasulullah.’ Setelah itu, ia meneruskan ucapannya; ‘Jubah ini dahulu ada pada Aisyah hingga ia meninggal dunia. Setelah ia meninggal dunia, maka aku pun mengambilnya. Dan dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering mengenakannya. Lalu kami pun mencuci dan membersihkannya untuk orang sakit agar ia lekas sembuh dengan mengenakannya.[HR:muslim] (5)

Keringat Rasulullah saw sebagai Berkah bagi keluarga Anas bin Malik :

Hadits : 5  
dari Anas bin Malik dia berkata; Rasulullah saw pernah berkunjung ke rumah Ummu Sulaim. Lalu beliau tidur di atas tempat tidur Ummu Sulaim, ketika ia sedang tidak berada di rumah. Anas berkata; ‘Pada suatu hari, Rasulullah saw  datang ke rumah kami dan tidur di atas tempat tidur Ummu Sulaim. Kemudian Ummu Sulaim disuruh pulang dan diberitahu bahwasannya Nabi saw  sedang tidur di atas tempat tidurnya. Anas berkata; ‘Ketika Ummu Sulaim tiba di rumah, Nabi saw  telah berkeringat, dan keringat beliau tergenang di tikar kulit di atas tempat tidur.’ Maka Ummu Sulaim segera membuka tasnya dan segera mengusap keringat Rasulullah dengan sapu tangan dan memerasnya ke dalam sebuah botol. Tiba-tiba Nabi saw terbangun dan terkejut seraya berkata; ‘Apa yang kamu lakukan hai Ummu Sulaim? Ummu Sulaim menjawab; ‘Ya Rasulullah, kami mengharapkan keberkahan keringat engkau untuk anak-anak kami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Kamu benar hai Ummu Sulaim!
[HR:muslim] (6)
Hadits : 6
dari Anas bahwa Ummu Sulaim, bahwa dia biasa membentangkan tikar dari kulit untuk Nabi saw , lalu beliau istirahat siang di atas tikar tersebut, Anas melanjutkan; “Apabila Nabi saw telah tidur, maka Ummu Sulaim mengambil keringat dan rambutnya yang terjatuh dan meletakkannya di wadah kaca, setelah itu ia mengumpulkannya di sukk (ramuan minyak wangi), Tsumamah berkata; ‘Ketika Anas bin Malik hendak meninggal dunia, maka dia berwasiat supaya ramuan tersebut dicampurkan ke dalam hanuth (ramuan yang digunakan untuk meminyaki mayyit), akhirnya ramuan tersebut diletakkan di hanuth (ramuan yang digunakan untuk meminyaki mayyit).”[HR:bukhari ] (7)

Sisa Air Wudhu Rasulullah saw sebagai Berkah dan Obat :

Hadits : 7
dari ‘Aun bin Abu Juhaifah dari Ayahnya dia berkata; saya menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau tengah berada di tenda besar yang terbuat dari kulit, dan saya melihat Bilal tengah mengambilkan tempat air wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sementara orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkan bekas wudlu beliau, dan siapa yang mendapatkannya maka ia akan membasuhkannya namun bagi yang tidak mendapatkannya, maka ia mengambil dari sisa air yang menetes dari temannya. [HR:bukhari ] (8)
Hadits : 8
As Sa`ib berkata; aku bersama bibiku pernah datang kepada Rasulullah saw, lalu dia berkata; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak saudaraku ini sedang menderita sakit.” Lalu beliau memegang kepalaku dan mendo’akan keberkahan kepadaku, kemudian beliau berwudlu dan aku pun minum dari sisa air wudlu’ tersebut, setelah itu aku berdiri di belakang beliau hingga aku sempat melihat setempel kenabiannya berada di antara kedua pundak beliau seperti biji kancing.” [HR:bukhari ](9)

Ludah Rasulullah saw sebagai Berkah :  

Hadits : 9
Perawi (‘Urwah bin Az Zubair dari Al Miswar bin Makhramah dan Marwan) berkata : Demi Allah, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila membuang dahak lalu dahak Beliau tepat jatuh di telapak tangan salah seorang dari sahabat melainkan orang itu menggosokkannya pada wajah dan kulitnya. Dan bila Beliau menyuruh mereka, merekapun segera begegas melaksanakan perintah Beliau. Dan apabila Beliau hendak berwudhu’, selalu mereka hampir berkelahi karena berebut untuk menyiapkan air untuk wudhu’ Beliau. Bila Beliau berbicara, mereka merendahkan suara mereka di hadapan Beliau dan mereka tidaklah menajamkan pandangan kepada Beliau sebagai pengagungan mereka terhadap Beliau. Maka ‘Urwah pun kembali kepada sahabat-sahabatnya lalu berkata: Wahai kaum, demi Allah, sungguh aku pernah menjadi utusan yang diutus mengahap raja-raja, juga Qaisar (raja Romawi) dan Kisra (raja Parsia) juga kepada raja an-Najasiy. Demi Allah, tidak pernah aku melihat seorang rajapun yang begitu diagungkan seperti para sahabat Muhamad shallallahu ‘alaihi wasallam mengagungkan Muhammad. Sungguh tidaklah dia berdahak lalu mengenai telapak seorang dari mereka kecuali dia akan membasuhkan dahak itu ke wajah dan kulitnya dan jika dia memerintahkan mereka maka mereka segera berebut melaksnakannya dan apabila dia berwudhu’ hampir-hampir mereka berkelahi karena memperebutkan sisa air wudhu’nya itu dan jika dia berbicara maka mereka merendahkan suara mereka (mendengarkan dengan seksama) dan tidaklah mereka mengarahkan pandangan kepadanya karena sangat menghormatinya.[HR: bukhari] (10)
Hadits : 10
Rasulullah saw meminta segelas air. Lalu beliau basuh kedua tangan dan wajahnya dengan air tersebut. Kemudian beliau meludah ke dalam air itu seraya berkata kepada Abu Musa dan Bilal: ‘Minumlah air ini hai Aba Musa dan Bilal! Setelah itu, tuangkanlah air tersebut untuk membasuh wajah dan leher kalian. Kemudian sampaikanlah kabar gembira tentang Islam kepada laki-laki itu! ‘ Keduanya mengambil gelas tersebut dan segera melaksanakan apa yang telah diperintahkan Rasulullah kepada mereka. Tak lama kemudian, Ummu Salamah, istri Rasulullah, memanggil Abu Musa dan Bilal dari balik tabir; ‘Hai Bilal dan Abu Musa, sisakanlah air tersebut untukku (ibu kalian)! ‘ Akhirnya mereka menyisakan air tersebut untuk Ummu Salamah. [HR:muslim] (11)

Celupan Jari Tangan Rasulullah sebagai Berkah :

Hadits : 11
dari Anas bin Malik dia berkata; Apabila Rasulullah saw  selesai melaksanakan shalat Shubuh, maka para pelayan Madinah melayani beliau dengan membawa bejana berisi air. Beliau mencelupkan jari tangannya ke dalam setiap bejana yang disodorkan kepada beliau. Terkadang para pelayan tersebut mendatangi beliau di pagi yang amat dingin, tetapi beliau tetap sudi mencelupkan tangan beliau ke dalam bejana yang berisi air tersebut. (shahih muslim 4291) (12)
Tidak ada larangan bagi Kita Bertabbaruk kepada  orang Alim ,Habib ,Kyai,Ulama atau Guru Guru kita  . sebagai mana banyak dari  para Imam Imam Ahli Hadits mereka Bertabbaruk kepada Guru Guru mereka … dan hal ini tidak ada larangan khusus dari Rasulullah saw  . Dalam sebuah Hadits di Sebutkan :
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Apa yang telah aku larang untukmu maka jauhilah. Dan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka kerjakanlah semampu kalian.
 Semoga kelak kita akan mendapat berkah Syafa’at dari  Rasulullah saw  dan semoga kelak kita di kumpulkan bersama Beliau beserta para Sahabat, Keluarga, Keturunan dan para pencinta beliau ….. amin ya robbal alamin

referensi:

(1) صحيح البخاري :: ‏الوضوء‏ :: ‏الماء الذي يغسل به شعر الإنسان وكان عطاء لا يرى به‏
‏حدثنا ‏ ‏مالك بن إسماعيل ‏ ‏قال حدثنا ‏ ‏إسرائيل ‏ ‏عن ‏ ‏عاصم ‏ ‏عن ‏ ‏ابن سيرين ‏ ‏قال قلت ‏
‏لعبيدة ‏ ‏عندنا من شعر النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏أصبناه ‏ ‏من قبل ‏ ‏أنس ‏ ‏أو من قبل أهل ‏ ‏أنس ‏
‏فقال ‏ ‏لأن تكون عندي شعرة منه أحب إلي من الدنيا وما فيها ‏
    
(2) صحيح مسلم :: ‏الفضائل‏ :: ‏قرب النبي عليه السلام من الناس وتبركهم به‏
‏حدثنا ‏ ‏محمد بن رافع ‏ ‏حدثنا ‏ ‏أبو النضر ‏ ‏حدثنا ‏ ‏سليمان ‏ ‏عن ‏ ‏ثابت ‏ ‏عن ‏ ‏أنس ‏ ‏قال ‏
‏لقد ‏ ‏رأيت رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏والحلاق يحلقه وأطاف به أصحابه فما يريدون أن تقع شعرة إلا في يد رجل
(3) صحيح البخاري:: ‏اللباس‏ :: ‏ما يذكر في الشيب‏
‏حدثنا ‏ ‏مالك بن إسماعيل ‏ ‏حدثنا ‏ ‏إسرائيل ‏ ‏عن ‏ ‏عثمان بن عبد الله بن موهب ‏ ‏قال ‏ ‏أرسلني أهلي إلى ‏ ‏أم سلمة ‏ ‏زوج النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏
‏بقدح من ماء وقبض ‏ ‏إسرائيل ‏ ‏ثلاث أصابع من ‏ ‏قصة ‏ ‏فيه شعر من شعر النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏وكان إذا أصاب الإنسان عين أو شيء بعث إليها ‏ ‏مخضبه ‏ ‏فاطلعت في ‏ ‏الجلجل ‏ ‏فرأيت شعرات حمرا ‏
(4)
و روي عن صفية بنت نجدة …
و كانت في قلنسوة خالد بن الوليد شعرات صلى الله عليه و سلم ، فسقطت قلنسوته في بعض حروبه ، فشد عليها شدة أنكر عليه أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم كثرة من قتل فيها ، فقال : لم أفعلها بسبب القلنسوة ، بل لما تضمنه من شعره صلى الله عليه و سلم لئلا أسلب بركتها و تقع في أيدي المشركين .
(5) صحيح مسلم :: ‏اللباس والزينة‏ :: ‏تحريم استعمال إناء الذهب والفضة على الرجال والنساء‏
‏حدثنا ‏ ‏يحيى بن يحيى ‏ ‏أخبرنا ‏ ‏خالد بن عبد الله ‏ ‏عن ‏ ‏عبد الملك ‏ ‏عن ‏ ‏عبد الله ‏ ‏مولى ‏ ‏أسماء بنت أبي بكر ‏ ‏وكان خال ولد ‏ ‏عطاء ‏ ‏قال ‏ ‏أرسلتني ‏ ‏أسماء ‏ ‏إلى ‏ ‏عبد الله بن عمر ‏ ‏فقالت بلغني أنك تحرم أشياء ثلاثة ‏ ‏العلم ‏ ‏في الثوب ‏ ‏وميثرة ‏ ‏الأرجوان ‏ ‏وصوم رجب كله فقال لي ‏ ‏عبد الله ‏ ‏أما ما ذكرت من رجب فكيف بمن يصوم الأبد وأما ما ذكرت من ‏ ‏العلم ‏ ‏في الثوب ‏
‏فإني سمعت ‏ ‏عمر بن الخطاب ‏ ‏يقول سمعت رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏يقول ‏ ‏إنما يلبس الحرير من ‏ ‏لا خلاق له ‏ ‏فخفت أن يكون ‏ ‏العلم ‏ ‏منه وأما ‏ ‏ميثرة ‏ ‏الأرجوان ‏ ‏فهذه ‏ ‏ميثرة ‏ ‏عبد الله ‏ ‏فإذا هي ‏ ‏أرجوان ‏ ‏فرجعت إلى ‏ ‏أسماء ‏ ‏فخبرتها فقالت هذه ‏ ‏جبة ‏ ‏رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏فأخرجت إلي ‏ ‏جبة ‏ ‏طيالسة ‏ ‏كسروانية ‏ ‏لها ‏ ‏لبنة ‏ ‏ديباج ‏ ‏وفرجيها مكفوفين ‏ ‏بالديباج ‏ ‏فقالت هذه كانت عند ‏ ‏عائشة ‏ ‏حتى قبضت فلما قبضت قبضتها وكان النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏يلبسها فنحن نغسلها للمرضى ‏ ‏يستشفى بها ‏
(6)صحيح مسلم :: ‏الفضائل‏ :: ‏طيب عرق النبي صلى الله عليه وسلم والتبرك به‏
‏و حدثني ‏ ‏محمد بن رافع ‏ ‏حدثنا ‏ ‏حجين بن المثنى ‏ ‏حدثنا ‏ ‏عبد العزيز وهو ابن أبي سلمة ‏ ‏عن ‏ ‏إسحق بن عبد الله بن أبي طلحة ‏ ‏عن ‏ ‏أنس بن مالك ‏ ‏قال ‏
‏كان النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏يدخل بيت ‏ ‏أم سليم ‏ ‏فينام على فراشها وليست فيه قال فجاء ذات يوم فنام على فراشها فأتيت فقيل لها هذا النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏نام في بيتك على فراشك قال فجاءت وقد عرق ‏ ‏واستنقع ‏ ‏عرقه على قطعة ‏ ‏أديم ‏ ‏على الفراش ففتحت ‏ ‏عتيدتها ‏ ‏فجعلت تنشف ذلك العرق فتعصره في ‏ ‏قواريرها ‏ ‏ففزع ‏ ‏النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏فقال ‏ ‏ما تصنعين يا ‏ ‏أم سليم ‏ ‏فقالت يا رسول الله نرجو بركته لصبياننا قال أصبت ‏
(7)  :: ‏الآداب‏ :: ‏الاستئذان‏ :: ‏من زار قوما فقال عندهم‏ صحيح البخاري
‏حدثنا ‏ ‏قتيبة بن سعيد ‏ ‏حدثنا ‏ ‏محمد بن عبد الله الأنصاري ‏ ‏قال حدثني ‏ ‏أبي ‏ ‏عن ‏ ‏ثمامة ‏ ‏عن ‏ ‏أنس ‏
‏أن ‏ ‏أم سليم ‏ ‏كانت تبسط للنبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏نطعا ‏ ‏فيقيل ‏ ‏عندها على ذلك ‏ ‏النطع ‏ ‏قال فإذا نام النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏أخذت من عرقه وشعره فجمعته في ‏ ‏قارورة ‏ ‏ثم جمعته في ‏ ‏سك ‏ ‏قال فلما حضر ‏ ‏أنس بن مالك ‏ ‏الوفاة أوصى إلي أن يجعل في ‏ ‏حنوطه ‏ ‏من ذلك ‏ ‏السك ‏ ‏قال فجعل في ‏ ‏حنوطه ‏
    
(8)       :: ‏اللباس‏ :: ‏القبة الحمراء من أدم‏ صحيح البخاري
‏حدثنا ‏ ‏محمد بن عرعرة ‏ ‏قال حدثني ‏ ‏عمر بن أبي زائدة ‏ ‏عن ‏ ‏عون بن أبي جحيفة ‏ ‏عن ‏ ‏أبيه ‏ ‏قال ‏
‏أتيت النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏وهو في قبة حمراء من ‏ ‏أدم ‏ ‏ورأيت ‏ ‏بلالا ‏ ‏أخذ وضوء النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏والناس يبتدرون الوضوء فمن أصاب منه شيئا تمسح به ومن لم يصب منه شيئا أخذ من بلل يد صاحبه ‏
(9) صحيح البخاري :: ‏المرضى‏ :: ‏من ذهب بالصبي المريض ليدعى له‏
‏حدثنا ‏ ‏إبراهيم بن حمزة ‏ ‏حدثنا ‏ ‏حاتم هو ابن إسماعيل ‏ ‏عن ‏ ‏الجعيد ‏ ‏قال سمعت ‏ ‏السائب ‏ ‏يقول ‏
‏ذهبت بي خالتي إلى رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏فقالت يا رسول الله إن ابن أختي وجع ‏ ‏فمسح رأسي ودعا لي بالبركة ثم توضأ فشربت من وضوئه وقمت خلف ظهره فنظرت إلى خاتم النبوة بين كتفيه مثل زر الحجلة ‏
(10) صحيح البخاري :: ‏الشروط‏ :: ‏الشروط في الجهاد والمصالحة مع أهل الحرب وكتابة الشروط‏
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ قَالَ أَخْبَرَنِي الزُّهْرِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَمَرْوَانَ يُصَدِّقُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَدِيثَ صَاحِبِهِ قَالَا خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَمَنَ الْحُدَيْبِيَةِ حَتَّى إِذَا كَانُوا بِبَعْضِ الطَّرِيقِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ بِالْغَمِيمِ فِي خَيْلٍ لِقُرَيْشٍ طَلِيعَةٌ فَخُذُوا ذَاتَ الْيَمِينِ فَوَاللَّهِ مَا شَعَرَ بِهِمْ خَالِدٌ حَتَّى إِذَا هُمْ بِقَتَرَةِ الْجَيْشِ فَانْطَلَقَ يَرْكُضُ نَذِيرًا لِقُرَيْشٍ وَسَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِذَا كَانَ بِالثَّنِيَّةِ الَّتِي يُهْبَطُ عَلَيْهِمْ مِنْهَا بَرَكَتْ بِهِ رَاحِلَتُهُ فَقَالَ النَّاسُ حَلْ حَلْ فَأَلَحَّتْ فَقَالُوا خَلَأَتْ الْقَصْوَاءُ خَلَأَتْ الْقَصْوَاءُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا خَلَأَتْ الْقَصْوَاءُ وَمَا ذَاكَ لَهَا بِخُلُقٍ وَلَكِنْ حَبَسَهَا حَابِسُ الْفِيلِ ثُمَّ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَسْأَلُونِي خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرُمَاتِ اللَّهِ إِلَّا أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا ثُمَّ زَجَرَهَا فَوَثَبَتْ قَالَ فَعَدَلَ عَنْهُمْ حَتَّى نَزَلَ بِأَقْصَى الْحُدَيْبِيَةِ عَلَى ثَمَدٍ قَلِيلِ الْمَاءِ يَتَبَرَّضُهُ النَّاسُ تَبَرُّضًا فَلَمْ يُلَبِّثْهُ النَّاسُ حَتَّى نَزَحُوهُ وَشُكِيَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَطَشُ فَانْتَزَعَ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِهِ ثُمَّ أَمَرَهُمْ أَنْ يَجْعَلُوهُ فِيهِ فَوَاللَّهِ مَا زَالَ يَجِيشُ لَهُمْ بِالرِّيِّ حَتَّى صَدَرُوا عَنْهُ فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ جَاءَ بُدَيْلُ بْنُ وَرْقَاءَ الْخُزَاعِيُّ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِهِ مِنْ خُزَاعَةَ وَكَانُوا عَيْبَةَ نُصْحِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ تِهَامَةَ فَقَالَ إِنِّي تَرَكْتُ كَعْبَ بْنَ لُؤَيٍّ وَعَامِرَ بْنَ لُؤَيٍّ نَزَلُوا أَعْدَادَ مِيَاهِ الْحُدَيْبِيَةِ وَمَعَهُمْ الْعُوذُ الْمَطَافِيلُ وَهُمْ مُقَاتِلُوكَ وَصَادُّوكَ عَنْ الْبَيْتِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا لَمْ نَجِئْ لِقِتَالِ أَحَدٍ وَلَكِنَّا جِئْنَا مُعْتَمِرِينَ وَإِنَّ قُرَيْشًا قَدْ نَهِكَتْهُمْ الْحَرْبُ وَأَضَرَّتْ بِهِمْ فَإِنْ شَاءُوا مَادَدْتُهُمْ مُدَّةً وَيُخَلُّوا بَيْنِي وَبَيْنَ النَّاسِ فَإِنْ أَظْهَرْ فَإِنْ شَاءُوا أَنْ يَدْخُلُوا فِيمَا دَخَلَ فِيهِ النَّاسُ فَعَلُوا وَإِلَّا فَقَدْ جَمُّوا وَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأُقَاتِلَنَّهُمْ عَلَى أَمْرِي هَذَا حَتَّى تَنْفَرِدَ سَالِفَتِي وَلَيُنْفِذَنَّ اللَّهُ أَمْرَهُ فَقَالَ بُدَيْلٌ سَأُبَلِّغُهُمْ مَا تَقُولُ قَالَ فَانْطَلَقَ حَتَّى أَتَى قُرَيْشًا قَالَ إِنَّا قَدْ جِئْنَاكُمْ مِنْ هَذَا الرَّجُلِ وَسَمِعْنَاهُ يَقُولُ قَوْلًا فَإِنْ شِئْتُمْ أَنْ نَعْرِضَهُ عَلَيْكُمْ فَعَلْنَا فَقَالَ سُفَهَاؤُهُمْ لَا حَاجَةَ لَنَا أَنْ تُخْبِرَنَا عَنْهُ بِشَيْءٍ وَقَالَ ذَوُو الرَّأْيِ مِنْهُمْ هَاتِ مَا سَمِعْتَهُ يَقُولُ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ كَذَا وَكَذَا فَحَدَّثَهُمْ بِمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ فَقَالَ أَيْ قَوْمِ أَلَسْتُمْ بِالْوَالِدِ قَالُوا بَلَى قَالَ أَوَلَسْتُ بِالْوَلَدِ قَالُوا بَلَى قَالَ فَهَلْ تَتَّهِمُونِي قَالُوا لَا قَالَ أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أَنِّي اسْتَنْفَرْتُ أَهْلَ عُكَاظَ فَلَمَّا بَلَّحُوا عَلَيَّ جِئْتُكُمْ بِأَهْلِي وَوَلَدِي وَمَنْ أَطَاعَنِي قَالُوا بَلَى قَالَ فَإِنَّ هَذَا قَدْ عَرَضَ لَكُمْ خُطَّةَ رُشْدٍ اقْبَلُوهَا وَدَعُونِي آتِيهِ قَالُوا ائْتِهِ فَأَتَاهُ فَجَعَلَ يُكَلِّمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوًا مِنْ قَوْلِهِ لِبُدَيْلٍ فَقَالَ عُرْوَةُ عِنْدَ ذَلِكَ أَيْ مُحَمَّدُ أَرَأَيْتَ إِنْ اسْتَأْصَلْتَ أَمْرَ قَوْمِكَ هَلْ سَمِعْتَ بِأَحَدٍ مِنْ الْعَرَبِ اجْتَاحَ أَهْلَهُ قَبْلَكَ وَإِنْ تَكُنِ الْأُخْرَى فَإِنِّي وَاللَّهِ لَأَرَى وُجُوهًا وَإِنِّي لَأَرَى أَوْشَابًا مِنْ النَّاسِ خَلِيقًا أَنْ يَفِرُّوا وَيَدَعُوكَ فَقَالَ لَهُ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ امْصُصْ بِبَظْرِ اللَّاتِ أَنَحْنُ نَفِرُّ عَنْهُ وَنَدَعُهُ فَقَالَ مَنْ ذَا قَالُوا أَبُو بَكْرٍ قَالَ أَمَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلَا يَدٌ كَانَتْ لَكَ عِنْدِي لَمْ أَجْزِكَ بِهَا لَأَجَبْتُكَ قَالَ وَجَعَلَ يُكَلِّمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُلَّمَا تَكَلَّمَ أَخَذَ بِلِحْيَتِهِ وَالْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ قَائِمٌ عَلَى رَأْسِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ السَّيْفُ وَعَلَيْهِ الْمِغْفَرُ فَكُلَّمَا أَهْوَى عُرْوَةُ بِيَدِهِ إِلَى لِحْيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَرَبَ يَدَهُ بِنَعْلِ السَّيْفِ وَقَالَ لَهُ أَخِّرْ يَدَكَ عَنْ لِحْيَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَفَعَ عُرْوَةُ رَأْسَهُ فَقَالَ مَنْ هَذَا قَالُوا الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَقَالَ أَيْ غُدَرُ أَلَسْتُ أَسْعَى فِي غَدْرَتِكَ وَكَانَ الْمُغِيرَةُ صَحِبَ قَوْمًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَتَلَهُمْ وَأَخَذَ أَمْوَالَهُمْ ثُمَّ جَاءَ فَأَسْلَمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا الْإِسْلَامَ فَأَقْبَلُ وَأَمَّا الْمَالَ فَلَسْتُ مِنْهُ فِي شَيْءٍ ثُمَّ إِنَّ عُرْوَةَ جَعَلَ يَرْمُقُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَيْنَيْهِ قَالَ فَوَاللَّهِ مَا تَنَخَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُخَامَةً إِلَّا وَقَعَتْ فِي كَفِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُ وَإِذَا أَمَرَهُمْ ابْتَدَرُوا أَمْرَهُ وَإِذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ وَإِذَا تَكَلَّمَ خَفَضُوا أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَهُ وَمَا يُحِدُّونَ إِلَيْهِ النَّظَرَ تَعْظِيمًا لَهُ فَرَجَعَ عُرْوَةُ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ أَيْ قَوْمِ وَاللَّهِ لَقَدْ وَفَدْتُ عَلَى الْمُلُوكِ وَوَفَدْتُ عَلَى قَيْصَرَ وَكِسْرَى وَالنَّجَاشِيِّ وَاللَّهِ إِنْ رَأَيْتُ مَلِكًا قَطُّ يُعَظِّمُهُ أَصْحَابُهُ مَا يُعَظِّمُ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحَمَّدًا وَاللَّهِ إِنْ تَنَخَّمَ نُخَامَةً إِلَّا وَقَعَتْ فِي كَفِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُ وَإِذَا أَمَرَهُمْ ابْتَدَرُوا أَمْرَهُ وَإِذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ وَإِذَا تَكَلَّمَ خَفَضُوا أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَهُ وَمَا يُحِدُّونَ إِلَيْهِ النَّظَرَ تَعْظِيمًا لَهُ وَإِنَّهُ قَدْ عَرَضَ عَلَيْكُمْ خُطَّةَ رُشْدٍ فَاقْبَلُوهَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي كِنَانَةَ دَعُونِي آتِيهِ فَقَالُوا ائْتِهِ فَلَمَّا أَشْرَفَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابِهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا فُلَانٌ وَهُوَ مِنْ قَوْمٍ يُعَظِّمُونَ الْبُدْنَ فَابْعَثُوهَا لَهُ فَبُعِثَتْ لَهُ وَاسْتَقْبَلَهُ النَّاسُ يُلَبُّونَ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ مَا يَنْبَغِي لِهَؤُلَاءِ أَنْ يُصَدُّوا عَنْ الْبَيْتِ فَلَمَّا رَجَعَ إِلَى أَصْحَابِهِ قَالَ رَأَيْتُ الْبُدْنَ قَدْ قُلِّدَتْ وَأُشْعِرَتْ فَمَا أَرَى أَنْ يُصَدُّوا عَنْ الْبَيْتِ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْهُمْ يُقَالُ لَهُ مِكْرَزُ بْنُ حَفْصٍ فَقَالَ دَعُونِي آتِيهِ فَقَالُوا ائْتِهِ فَلَمَّا أَشْرَفَ عَلَيْهِمْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا مِكْرَزٌ وَهُوَ رَجُلٌ فَاجِرٌ فَجَعَلَ يُكَلِّمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَمَا هُوَ يُكَلِّمُهُ إِذْ جَاءَ سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو قَالَ مَعْمَرٌ فَأَخْبَرَنِي أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّهُ لَمَّا جَاءَ سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ سَهُلَ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ قَالَ مَعْمَرٌ قَالَ الزُّهْرِيُّ فِي حَدِيثِهِ فَجَاءَ سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو فَقَالَ هَاتِ اكْتُبْ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابًا فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَاتِبَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قَالَ سُهَيْلٌ أَمَّا الرَّحْمَنُ فَوَاللَّهِ مَا أَدْرِي مَا هُوَ وَلَكِنْ اكْتُبْ بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ كَمَا كُنْتَ تَكْتُبُ فَقَالَ الْمُسْلِمُونَ وَاللَّهِ لَا نَكْتُبُهَا إِلَّا بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكْتُبْ بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ ثُمَّ قَالَ هَذَا مَا قَاضَى عَلَيْهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ سُهَيْلٌ وَاللَّهِ لَوْ كُنَّا نَعْلَمُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ مَا صَدَدْنَاكَ عَنْ الْبَيْتِ وَلَا قَاتَلْنَاكَ وَلَكِنْ اكْتُبْ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ إِنِّي لَرَسُولُ اللَّهِ وَإِنْ كَذَّبْتُمُونِي اكْتُبْ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ الزُّهْرِيُّ وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ لَا يَسْأَلُونِي خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرُمَاتِ اللَّهِ إِلَّا أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنْ تُخَلُّوا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْبَيْتِ فَنَطُوفَ بِهِ فَقَالَ سُهَيْلٌ وَاللَّهِ لَا تَتَحَدَّثُ الْعَرَبُ أَنَّا أُخِذْنَا ضُغْطَةً وَلَكِنْ ذَلِكَ مِنْ الْعَامِ الْمُقْبِلِ فَكَتَبَ فَقَالَ سُهَيْلٌ وَعَلَى أَنَّهُ لَا يَأْتِيكَ مِنَّا رَجُلٌ وَإِنْ كَانَ عَلَى دِينِكَ إِلَّا رَدَدْتَهُ إِلَيْنَا قَالَ الْمُسْلِمُونَ سُبْ
(11) صحيح مسلم :: ‏فضائل الصحابة‏ :: ‏من فضائل أبي موسى وأبي عامر الأشعريين رضي الله عنهما‏
‏حدثنا ‏ ‏أبو عامر الأشعري ‏ ‏وأبو كريب ‏ ‏جميعا ‏ ‏عن ‏ ‏أبي أسامة ‏ ‏قال ‏ ‏أبو عامر ‏ ‏حدثنا ‏ ‏أبو أسامة ‏ ‏حدثنا ‏ ‏بريد ‏ ‏عن ‏ ‏جده ‏ ‏أبي بردة ‏ ‏عن ‏ ‏أبي موسى ‏ ‏قال ‏
‏كنت عند النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏وهو نازل ‏ ‏بالجعرانة ‏ ‏بين ‏ ‏مكة ‏ ‏والمدينة ‏ ‏ومعه ‏ ‏بلال ‏ ‏فأتى رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏رجل أعرابي فقال ألا تنجز لي يا ‏ ‏محمد ‏ ‏ما وعدتني فقال له رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏أبشر فقال له الأعرابي أكثرت علي من أبشر فأقبل رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏على ‏ ‏أبي موسى ‏ ‏وبلال ‏ ‏كهيئة الغضبان فقال إن هذا قد رد البشرى فاقبلا أنتما فقالا قبلنا يا رسول الله ثم ‏ ‏دعا رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏بقدح ‏ ‏فيه ماء فغسل يديه ووجهه فيه ‏ ‏ومج ‏ ‏فيه ثم قال اشربا منه وأفرغا على وجوهكما ونحوركما وأبشرا فأخذا ‏ ‏القدح ‏ ‏ففعلا ما أمرهما به رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏فنادتهما ‏ ‏أم سلمة ‏ ‏من وراء الستر ‏ ‏أفضلا ‏ ‏لأمكما مما في إنائكما ‏ ‏فأفضلا ‏ ‏لها منه طائفة ‏
(12) صحيح مسلم :: ‏الفضائل‏ :: ‏قرب النبي عليه السلام من الناس وتبركهم به‏
 ‏حدثنا ‏ ‏مجاهد بن موسى ‏ ‏وأبو بكر بن النضر بن أبي النضر ‏ ‏وهارون بن عبد الله ‏ ‏جميعا ‏ ‏عن ‏ ‏أبي النضر ‏ ‏قال ‏ ‏أبو بكر ‏ ‏حدثنا ‏ ‏أبو النضر يعني هاشم بن القاسم ‏ ‏حدثنا ‏ ‏سليمان بن المغيرة ‏ ‏عن ‏ ‏ثابت ‏ ‏عن ‏ ‏أنس بن مالك ‏ ‏قال ‏
‏كان رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏إذا صلى ‏ ‏الغداة ‏ ‏جاء خدم ‏ ‏المدينة ‏ ‏بآنيتهم فيها الماء فما يؤتى بإناء إلا غمس يده فيها فربما جاءوه في ‏ ‏الغداة ‏ ‏الباردة فيغمس يده فيها ‏

Senin, 11 Juni 2012

Mbah Muqoyyim, Pendiri Buntet Pesantren

Kyai Muqoyyim, Pendiri Pesantren Buntet

Oleh H. Soleh Suaedi
Kesultanan Cirebon berada dalam titik nadir yang paling rendah, karena perebutan kekuasaan. Ini terjadi setelah mangkatnya Pangeran Girilaya pada tahun 1662 M. pertikaian internal antara Pangeran Sepuh II dan Pangeran Arya Cirebon menjadi alasan bagi Belanda untuk mencengkramkan pengaruhnya di kesultanan. Sehingga kesultanan pecah menjadi empat dengan pemimpinnya sendiri-sendiri.

Ditengah suasana seperti itu, pada tahun 1689 M Mbah Muqoyyim lahir, di desa srengseng krangkeng, Karang Ampel Indramayu. Berdasarkan buku silsilah pesantren Buntet, beliau adalah putra Kyai Abdul Hadi yang berdarah kesultanan Cirebon. Diyakini, Mbah Muqoyyim mendapat ilmu secara laduni, diperolehnya tanpa melalui proses belajar. Namun, ada juga pihak yang meyakini bahwa beliau mendapat ilmu agama dari sebuah pesantren di jawa, tapi tidak terdapat dokumen yang memberikan penjelasan ihwal keberadaan pesantren tersebut.

Kala itu, Cirebon sering mengadakan hubungan dengan Banten, yang berada dibawah pemerintahan adipati anom alias Amangkurat II, dimana perkembangan ilmu keagamaan cukup tinggi. Sebelumnya, Mbah Muqoyyim mengunjungi tempat-tempat yang pernah disinggahi Syaikh Yusuf Al Makasari, menantu Sultan Ageng Tirtayasa, yang memerintah Banten sebelum masa pemerintahan Amangkurat I. di tempat-tempat itu ia bertemu dan berdiskusi dengan pengganti atau murid-murid Syaikh Yusuf.

Selain alim, beliau juga produktif menuangkan gagasannya dalam karyanya. Ia menulis beberapa buku tentang fiqh, tauhid, dan tasawuf yang dikirim pada Sultan Kanoman agar dijadikan buku pegangan bagi para pembesar keraton dan rakyat Cirebon. Maka tak mengherankan bila ia kemudian diangkat sebagai Mufti. Selain itu, ia juga dikenal sakti, tapi rendah hati kepada siapa pun. Ia sangat mengedepankan akhlakul karimah.

Mbah Muqoyyim menikah dengan Randu Lawang, putri tunggal Kyai Entol Rujitnala, seorang yang dikenal sakti tapi gagal membuat bendungan penahan banjir yang selalu menggenangi sungai Nanggela, sehingga daerah Setu selalu kebanjiran bila musim hujan datang. Merasa tidak mampu membuat bendungan penahan banjir, Kyai Entol kemudian mengadakan sayembara dengan hadiah anak semata wayangnya bagi yang berhasil membuat bendungan penahan banjir.

Mbah Muqoyyim yang ketika itu menjadi Mufti Keraton Kanoman, mengikuti sayembara itu. Tapi dengan niat kemanusiaan, yaitu menghilangkan banjir. Meski demikian, sesuai dengan sifatnya yang rendah hati, ia juga tidak ingin mempermalukan penyelenggara. Caranya, sementara ia melakukan tugasnya untuk membangun bendungan, dimintanya Kyai Entol berdoa.
Seutas benang yang dikeluarkan dari jubahnya, dibentangkan di beberapa titik yang akan dibangun bendungan. Kemudian, dengan hentakkan, terciptalah bendungan itu lengkap dengan dinding batu yang kokoh. Sejak itu penduduk Setu terhindar dari banjir. Keberhasilan ini tentu saja membuat Mbah Muqoyyim harus menikah dengan putri Kyai Entol, dan beliaupun menjadi menantunya.
Dominasi Belanda terhadap Keraton Cirebon sudah terlalu jauh sehingga masuk dalam wilayah pengambilan keputusan dan kebijakan keraton, mengobarkan kemarahan Mbah Muqoyyim. Namun, merasa dirinya hanya Mufti, tindakan perlawanannya tidak konfrontatif, melainkan berupa pengunduran diri dengan cara meninggalkan keraton.
Ia kemudian mendirikan pesantren sebagai pusat penyebaran agama Islam dan basis perlawanan kultural terhadap Belanda, ia ingin bererak di bidang pendidikan mental dan spiritual agar dapat melaksanakan ajaran agama Islam dengan tenang dan menyikapi situasi dengan jernih. Pendidikan mental akan memberikan motivasi yang kuat bagi para santri untuk tidak tunduk pada penjajah Belanda.
Mbah Muqayyim memilih Buntet sebagai lokasi Pesantrennya, yang berjarak 12 KM arah timur dari pusat keraton. Alasannya, karena disitu Kuwu Cirebon atau Uwak Syarif Hidayatullah, pernah mendirikan Padepokan. Berkat reputasinya sebagai pemenang sayembara membangun bendungan dan kedudukan Mufti Sultan Kanoman, Pesantren Buntet cepat berkembang.
Dalam perjalanannya, Belanda yang melihat Mbah Muqoyyim sebagai ancaman serius, segera menyerang dan mengosongkan pesantren Buntet. Perlawanan sengit dilakukan oleh pihak pesantren. Disini diuji bekal mental dan komitmen pesantren untuk tidak berkompromi dengan penjajah Belanda. Panji-panji jihad berkibar, aroma sorga tercium dan mati syahid pun menjadi tujuan. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Dalam pertempuran yang timpang itu, Mbah Muqoyyim berhasil menyelamatkan diri di pesawahan sindanglaut tempat adiknya bermukim. Disana ia mendirikan masjid.

Ceritanya, ketika membangun masjid tersebut, ia hanya menggunakan sebatang pohon jati yang banyak tumbuh disitu, sehingga tempat asal pohon tersebut dikenal hingga sekarang dengan nama Jatisawit (Jati Sa Wit bahasa jawa – Jati satu pohon). Usai membangun masjid, ia membangun pesantren yang kemudian dikenal dengan pesantren pesawahan. Salah seorang santrinya adalah Chaeruddin, ditengarai sebagai cucu Adipati Anom, sehingga masih ada hubungan keluarga dengan Mbah Muqoyyim.

Dibawah bimbingan mbah Muqoyyim, pangeran Chaeruddin di didik dan dipersiapkan menjadi manusia pemberani dan siap bertarung dengan kompeni, lantaran ia adalah pewaris tahta kesultanan kanoman yang tidak setuju dengan sikap keratin yang tunduk kepada Belanda.

Keberadaan pangeran Chaeruddin disamping Mbah Muqoyyim membuat Belanda semakin marah. Maka, dalam suatu penyerbuan ke Pesantren tersebut Belanda menangkap pangeran Chaeruddin dan kemudian membuangnya ke Ambon. Sedangkan Mbah Muqoyyim menyingkir ke Beji, Pemalang. Disana, ia juga mendirikan masjid dan pesantren setelah membabat hutan angker. Ia masuk hutan tanpa mendapat gangguan, sementara orang lain selalu raib tanpa diketahui rimbanya.
Suatu saat ketika Cirebon diserang wabah penyakit kolera, Mbah Muqoyyim mendapat kesempatan untuk mengembalikan Pengeran Chaeruddin dari pembuangannya. Mbah Muqoyyim dianggap sebagai satu-satunya orang yang bisa melawan wabah kolera tersebut. Maka dipanggillah ia untuk melaksanakan tugas tersebut, saat itulah Mbah Muqoyyim mengajukan syarat agar pangeran Chaeruddin dipulangkan. Syarat itu disetujui. Pangeran Chaeruddin tiba di Cirebon, dan wabah kolera pun hilang.

Selama di Cirebon, Mbah Muqoyyim memanfaatkan waktunya untuk membangun kembali pesantren Buntet, yang berantakan. Tapi Tuhan berkehendak lain. Tidak lama kemudian, ditengah usahanya untuk menata kembali pesantren Buntet, ia dipanggil kehadirat Ilahi Rabbi. Semoga Allah menempatkannya pada tempat mulia di sisiNya. Amin.

Masjid Buntet Pesantren Cirebon Abad keXVIII


Bagi kalangan santri, Pesantren Buntet terkenal sebagai salah satu pesantren  tua tidak hanya di Cirebon tetapi juga di Jawa. Banyak ulama nasional yang lahir dari pesantren ini. Selain itu, pesantren ini juga mengembangkan dua ajaran thariqoh yakni Tijaniyah dan Syathariyah. Namun sedikit sekali yang mengetahui bahwa di Buntet terdapat Masjid tua yang bangunannya mirip dengan Masjid Kanoman yang ada di sebelah barat Alun-alon Kraton Kanoman Cirebon.
Pesantren Buntet berada disebelah timur kota Cirebon, sekitar 8 KM. dari arah Barat letaknya tidak jauh dari pintu Tol Kanci.
Pondok Buntet Pesantren didirikan sekitar tahun 1758 M oleh Mbah Muqoyyim. Beliau termasuk keluarga kesultanan Cirebon akan tetapi beliau tidak bertempat tinggal di keraton karena kegigihannya tidak mau bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Pada awalnya Pondok Buntet Pesantren berlokasi di dekat dawuhan Sela kira-kira satu kilo meter di sebelah barat lokasi yang ada sekarang, yaitu tepatnya di Blok Sida Bagus Dusun II Desa Buntet. Kondisi fisik bangunan pondok pada awalnya sangat sederhana yang berupa panggung bilik bambu beratapkan ilalang berukuran kira-kira 8×12 m.
Setelah perlawanan Mbah Muqoyyim dikatahui oleh pemerintah kolonial Belanda, kemudian lokasi tersebut dibakar oleh Belanda. Mbah Muqoyyim berhasil menyelamatkan diri dan terus menyebarkan dan mengembangkan Islam. Beliau memindahkan Pondok Buntet Pesantren ke lokasi seperti sekarang ini, di samping itu beliau mengembangkan dakwah dengan berpindah-pindah lokasi di antaranya petilasan atau bekas-bekas jejak beliau ada di desa Tuk (Karang Sembung), Pesawahan (Lemah Abang), Desa Beji Pemalang di Jawa Tengah dan daerah lainnya. Setelah mbah Muqoyyim wafat pesantren Buntet dipangku oleh menantu cucu beliau yang juga murid beliau yaitu KH. Muta’ad (1785-1842 M), putra kesultanan Cirebon yang pernah menjadi penghulu karisedenan Cirebon.
Berdasarkan sejarah berdirinya Pesantren Buntet (1758 M), maka masjid Buntet juga dibanguan pada waktu yang sama yaitu akhir Abad ke-18 M. bentuk bangunan Masjid Buntet mirip dengan Masjid Kanoman. Lantai agak tinggi dari permukaan tanah. bagian ruang utama tetap dipertahankan sebagaimana aslinya. Tiang-tiang utamanya juga masih belum berubah. Sebuah mimbar sederhana berada di bagian sisi kiri mihrab. Pada bagian atas pengimaman (mihrab) motifnya mirip dengan yang ada di Masjid Kanoman Cirebon. [Hakiem Syukrie]
http://sejarah.kompasiana.com/2012/01/03/masjid-buntet-cirebon-abad-kexviii/

Minggu, 10 Juni 2012

Muhasabah Lewat Puisi Cak Nun

“DOA SEHELAI DAUN KERING” 
(Emha Ainun Nadjib) 
Oleh: Syauqi Merindu

Janganku suaraku ya 'Aziz, Sedangkan firmanMu pun diabaikan
Jangankan ucapanku ya Qawiyu, Sedangkan ayatMu pun disepelekan
Jangankan cintaku ya Dzul Quwwah, Sedangkan kasih sayangMu pun dibuang
Jangankan sapaanku ya Matin, Sedangkan solusi tawaranMu pun diremehkan

Betapa naifnya harapanku untuk diterima oleh mereka,
Sedangkan jasa penciptaanMu pun dihapus
Betapa lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh mereka,
Sedangkan kitabMu diingkari oleh seribu peradaban
Betapa tidak wajar aku merasa berhak untuk mereka hormati,
Sedangkan rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekali

Betapa tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakiti, Sedangkan kekasihMu Muhammad dilempar batu, Sedangkan IbrahimMu dibakar, Sedangkan YunusMu dicampakkan ke laut, Sedangkan NuhMu dibiarkan kesepian

Akan tetapi wahai Qadir Muqtadir
Wahai Jabbar Mutakabbir
Engkau Maha Agung dan aku kerdil
Engkau Maha Dahsyat dan aku picisan
Engkau Maha Kuat dan aku lemah
Engkau Maha Kaya dan aku papa
Engkau Maha Suci dan aku kumuh
Engkau Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnya

Akan tetapi wahai Qahir wahai Qahhar
Rasul kekasihMu maíshum dan aku bergelimang hawaí
Nabi utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembab
Wahai Mannan wahai Karim
Wahai Fattah wahai Halim
Aku setitik debu namun bersujud kepadaMu
Aku sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMu
Aku budak yang kesepian namun yakin pada kasih saying dan pembelaanMu
Jakarta 11 Pebruari 1999



Bermuhasabah Lewat Puisi Cak Nun

Dalam etika berdoa kita di anjurkan memuji nama-nama-Nya,Puisi ini merupakkan sebuah Doa yang sangat indah didalamnya di sebutkan beberapa asma-asma Allah. pada bait-bait puisi ini Cak Nun mengingatkan kepad kita bagaiman kita selama ini hidup, ingin rasanya suara kita didengar, pendapat kita diterima, cinta kita dibalas, sapaan kita di sambut, akan tetapi kita tak pernah melakukanya terhadap apa yang telah Allah berikan kepada kita.Nikmanya kita kufuri, janjinya kita abaikan, kitabnya kita biarakan, bahkan kita lupa untuk apa kita di ciptakan.
Kita tak lain adalah berawal dari sesuatu yang hina, namun merasa suci, kita sangat lemah dihadapa-Nya, tapi merasa kuat dan dahsyat, padahal kita rendah serendah- rendahnya dihadap-Nya.Cak Nun mengajak kita yang di ibaratkan “setitik debu” ini untuk sujud kepada-Nya, Ibarat selembar daun kering yang senantiasa bertasbih menyebut nama-Nya.
Irama puisi ini sangat menyentuh hati kita sekali, jika kita benar-benar memahaminya. Penyesalan yang mendalam yang akan terjadi jika kita merenungi puisi karya cak Nun yang satu ini, Janganlah kita kufur akan apa yang telah Allah berikan,baik berupa hidayah,nikmat-Nya, bahkan kalam-Nya(Al Quran).Banyaklah kita bermuhasabah dengan apa yang kita lakukan selama hidup di dunia ini,berapa banyak kebodohan dan kesalahan yang kita lakukan,kita hanya setitik debu dihadapan-Nya jadi untuk apa kesombongan dan keangkuhan kita milki, tak beda juga dennang selembar daun kering.      
   
Seperti Firman Allah swt ”Manusia dalam kerugian Kecuali orang-orang yang saling naseti-naseti dalam kesabaran dan saling mengingatkan dalam kebajikan” (Al-Asr :2-3) setidaknya Cak Nun telah melakukanya dalam puisi puisinya, kita seharusnya berterimakasih kepada Cak Nun beliau telah mengingatkan kita dan mengajari bagaimana caranya kita berdoa, beliau menegur tentang bagaimana kehidupan yang telah kita jalani selama ini, kita hanya setitik debu,sehelai daun kering dimata Allah.untuk apa kita hidup? ”Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku” (Adzariat : 56)
Cak Nun begitu piawai dalam menggagas dan menorehkan kata-kata, setidaknya dia telah mengamalkan beberapa perintah yang telah Allah Perintahkan ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali-imran :3)

Semoga bermanfaat pojok dinding 26-10-2010 =Syauqi Ahmad Muradhi

Sabtu, 09 Juni 2012

Sarung di atas mata kaki dan Jumatan di luar masjid Sarung Di Atas Mata kaki Jumatan Di Lapangan


Pertanyaan

1.     Saya sering melihat pria yang sholat dengan sarung di atas mata kaki. Apakah itu dianjurkan dalam sholat? Jika memang dianjurkan, apa dalilnya?
2.     Di Jakarta lahan parkir sering digunakan untuk sholat jumat. Apalagi di pusat perbelanjaan, sering orang-orang di sana menggunakannya, mengingat untuk pergi ke mesjid cukup jauh. Selama ini mereka hanya berpikir yg penting bershalat Jum'at. Walaupun bukan di dalam masjid dan menghindari dari lalai shalat Jumat. Yang ingin saya tanyakan apakah shalat Jumat yang dilakukan di luar masjid tersebut sah? Jarak antara pusat perbelanjaan(mall) ke masjid kira-kira 3 km.

Jawaban

1.     Perilaku tersebut berdasarkan dalil hadits:
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ َقالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِي صَلَاتِهِ خُيَلَاءَ فَلَيْسَ مِنْ اللَّهِ فِي حِلٍّ وَلَا حَرَامٍ
Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menjulurkan sarung dalam shalatnya karena angkuh/sombong maka orang itu tidaklah menuju Allah dan juga tidak menjalankan kewajiban-Nya." (HR. Abu Dawud)
Hadits di atas menunjukkan bahwa seseorang tidak diperkenankan menjulurkan pakaiannya melebihi betis untuk kesombongan. Bila hal itu dilakukannya dalam sholat maka orang tersebut dianggap tidak menjalankan sholat karena Allah. Potongan terakhir dari hadits di atas fa laisa min Allah fi hillin wa laa haraamin oleh Imam Nawawi ditafsiri sebagai orang tersebut membebaskan diri dari Allah dan melepaskan diri dari agama Allah. Sebagian ulama yang lain menafsiri bahwa orang tersebut tidak mengimani kehalalan dan keharaman (yang ditentukan) Allah. Lebih jelas baca Faidul Qodir Juz 6 halaman 68.
Namun dengan hadits di atas, kita tidak bisa serta merta menuduh orang yang menjulurkan bajunya ketika shalat atau dalam keadaan yang lain sebagai orang yang melepaskan dirinya dari agama Allah, atau menganggap orang itu melanggar larangan Rasulullah. Karena dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
Abdullah Ibn Umar berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa menjulurkan bajunya karena sombong/tinggi hati, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat". Kemudian Abu Bakar Assiddiq berkata, "Salah satu dari bagian bajuku (selalu) terjulur kecuali bila aku menjaganya terus (agar tidak terjulur)." Kemudian Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya engkau berbuat demikian tidak karena sombong". (HR. Bukhari)
Hadits ini menjelaskan bahwa keharaman menjulurkan baju/celana/sarung melebihi mata kaki adalah bila hal itu dilakukan karena kesombongan atau kepongahan seperti bila kita melihat mempelai pengantin yang bajunya dibuat menjulur hingga beberapa meter. Karena itu pulalah Al Habib Husein Ibn Alwy Ibn Aqiel menyatakan bila seseorang menggunakan pakaian/celana/sarung yang panjangnya melebihi mata kaki bukan karena sombong tetapi lebih ditujukan pada keindahan, maka hal itu tidaklah haram, bahkan dia menjalankan kesunnahan yang lain. Pernyataan Habib Husein ini diperkuat oleh hadits riwayat Muslim yang menyatakan:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Dari Rasulullah bersabda, "Tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi”. Seseorang berkata, "Sesungguhnya ada seseorang yang menyukai bajunya bagus dan alas kakinya bagus.” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Kesombongan itu adalah penyalahgunaan kebenaran dan meremehkan manusia.”
2.     Mengenai shalat Jumat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhkan dalam mendirikan shalat Jumat. Di antara yang terkait dengan pertanyaan adalah:
"Diadakan dalam bangunan tidak harus di masjid, bukan tanah lapang atau jalanan. Kecuali bila tanah lapang atau jalanan itu bersambung sebagai limpahan jamaah dari masjid."
Berdasar Kifayatul Akhyar Juz 1 halaman 147:
وَيُشْتَرَطُ فِى الأَبْنِيَةِ أَنْ تَكُونَ مُجْتَمِعَةً فَلَو تَفَرَّقَتْ لَمْ يَكْفِ
Dan disyaratkan bangunan yang digunakan merupakan tempat yang (luas untuk) mengumpulkan, kalau bangunan itu terpisah maka tidaklah cukup. Diikuti oleh minimal 40 orang mustautin/penduduk setempat/orang yang bukan tamu di daerah itu.
وَأَنْ يَكُونَ العَدَدُ أَرْبَعِيْنَ مِنْ أَهْلِ الجُمْعَةِ
Dan jumlahnya harus ada 40 orang dari ahli Jumat.
Pada keputusan Muktamar NU ke 27 di Situbondo disebutkan bahwa:
o    Menyelenggarakan shalat Jumat di tempat-tempat seperti kantor, apabila diikuti warga yang tinggal menetap (sampai bilangan yang menjadi syarat sahnya Jumatan).
o    Tidak ada penyelenggaraan Jumatan ganda. Jarak minimal antara pendirian Jumatan yang satu dengan yang lain menurut Keputusan Muktamar NU ke-6 di Pekalongan adalah 1666.667 meter.
o    Maka hukum pendirian Jumat yang dilakukan adalah sah.
Apabila seluruh jamaah merupakan musafir, tidak ada penduduk setempat yang mengikuti, maka menurut Imam Syafi'i hukumnya tidak sah. Tetapi menurut Imam Abu Hanifah sah berdasar kitab Majmu’ juz 4 halaman 505:
)فَرْعٌ) لاَ تَنْعَقِدُ الجُمُعَةُ عِنْدَنَا لِلْعَبْدِ وَلاَ المُسَافِرِيْنَ وَبِهِ قَالَ الجُمْهُور. وَقَالَ أَبُو حَنِيْفَةَ تَنْعَقِدُ
(Pasal) Tidak sah jumat menurut kita (madzhab Syafi'i) bagi seorang hamba sahaya dan bagi orang musafir. Hal ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama. Imam Abu Hanifah berkata, "(Jumatnya hamba dan musafir) sah."
Yang dimaksud tidak sah dalam dalil di atas adalah seorang musafir atau hamba sahaya tidak dapat melengkapi kebutuhan 40 orang jamaah yang menetap. Seandainya ada jamaah Jumat yang memenuhi persyaratan dan diikuti oleh sang musafir, maka shalat Jumat bagi musafir itu sah.
Mengingat repotnya ketentuan jumat ini, maka sebenarnya bepergian pada hari Jumat tidak dianjurkan. Bahkan bila kita berangkat sesudah subuh dan yakin akan ketinggalan Jumat maka hukum bepergian itu menjadi haram. Berdasar kitab Majmu’ juz 8 halaman 84:
قال أصحابنا فان كان يوم جمعة خرجوا قبل طلوع الفجر لان السفر يوم الجمعة بعد الفجر وقبل الزوال إلى حيث لا تصلى الجمعة حرام في أصح القولين
Ulama Syafi'iyah berkata, "Andai pada hari Jumat orang-orang keluar sebelum fajar (maka keluarnya tidak masalah). Karena bepergian pada hari Jumat setelah fajar dan sebelum tergelincirnya matahari hingga seseorang itu tidak menjalankan shalat Jumat hukumnya haram menurut pendapat terbaik dari dua pendapat."
Semoga dapat dipahami.


Jumat, 08 Juni 2012

Madinah.....Oh.....Madinah

 di depan kubah Hijau Masjid Nabawi
 dengan Haji Busyairi suami mbak Yokah
 Thowaf bareng bang Haji Heri suami mbak Eva
 persis setelah ziarah ke Baginda Nabi saw
di dalam Masjid Nabawi